Ketika menjadi ibu baru, ada saja orang yang memberikan beraneka macam masukan. Apalagi, tidak semuanya senada. Saran yang menurut Ibu membangun tentu akan sangat membantumu, tapi bagaimana jika sebaliknya? Misal, seseorang memberikan komentar yang ingin menunjukkan bahwa pengalamannya melahirkan atau mengasuh bayi dulu lebih baik atau malah terdengar seperti mom-shaming. Di momen seperti inilah, reframing penting bagi ibu baru agar tidak mudah terbawa perasaan.
Sekilas tentang metode reframing
Metode ini baru saja saya pelajari dari buku Psikolog Okina Fitriani yang berjudul The Secret of Enlightening Parenting. Reframing adalah penggantian bingkai makna terhadap suatu peristiwa sebagai upaya memperluas cara pandang. Sebaiknya reframing ini kita bawa ke arah yang mencerahkan dan memberdayakan. Dengan begitu, respon Ibu lebih positif terhadap diri sendiri maupun orang-orang sekitar.
Mengubah cara pandang terhadap masukan orang lain
Alih-alih menjadi baper dan bete dengan masukan yang enggak banget, kamu bisa menanggapinya dengan berkata, “Coba nanti aku pertimbangkan dulu, ya,” atau “Oh, begitu, ya.”
Sementara itu, kamu bisa melakukan reframing bahwa si Pemberi Saran mungkin membutuhkan recognition atau pengakuan sebagai seorang ibu. Fenomena mom-shaming muncul karena pelaku kurang mendapatkan perhatian dari orang-orang sekitarnya.
“Sebenarnya menjadi seorang ibu butuh dukungan, apresiasi, dan pengakuan baik dari pasangan, orang tua, mertua, ataupun orang lain di sekitarnya. Nah, pelaku mom-shaming umumnya tidak mendapatkan pengakuan ini. Bahkan, mungkin mereka tidak merasa mendapat dukungan sehingga kemudian berusaha membuktikan diri. Namun, cara yang dipilih dengan menjatuhkan ibu-ibu lainnya,” jelas Monica Sulistyawati.
Anggap komentar dan pertanyaan sebagai basa-basi
Ketika saudara atau teman menjengukmu usai kelahiran, tentu mereka mencari ragam topik pembicaraan. Saking enggannya mati gaya, terkadang topik yang dipilih berujung pada pertanyaan seperti di bawah ini.
“Lahirannya normal atau caesar?”
“Kok, caesar?” (Belum lagi kalau dibubuhi pertanyaan, “Takut sakit, ya?”)
“Gimana, ASI-nya banyak, enggak?”
“Kenapa sudah kasih susu formula?”
“Kok enggak mirip kamu, sih?”
Daaan, masih banyak pertanyaan lainnya yang mungkin menyinggung hati Ibu. Belum lagi, setiap ibu tentu memiliki senstivitas yang berbeda-beda.
Contoh-contoh pertanyaan tadi idealnya tidak dilontarkan kepada ibu-ibu yang baru saja melahirkan. Tapi, kita tidak bisa menjamin semua orang memahaminya. Jadi, bagaimana kita harus bersikap? Coba tempatkan diri kita di posisi mereka. Oh, mungkin mereka kehabisan topik sampai-sampai keceplosan bertanya seperti itu. Kemungkinan lainnya, mereka belum mendapatkan edukasi saja bahwa ada komentar dan pertanyaan tertentu yang dapat menyinggung perasaan Ibu baru.
(Febi/Dok. Shutterstock)