“Kamu tuh suka berasumsi sendiri.” Ungkapan tersebut sering kali suami lontarkan kepada saya setiap kali kami berusaha mengurai masalah berumah tangga. Alih-alih mengonfirmasi dulu ke pasangan, saya malah menarik kesimpulan sendiri saat lagi kesal dengan suami. Saat itulah, pikiran-pikiran negatif tentang pasangan mudah sekali menghantui. Apalagi, kalau sudah kadung kesal dan suami tidak peka, saya bisa cemberut seharian. Suasana hati pun terpengaruh sepanjang hari, termasuk saat menemani Si Kecil. Sang ibu yang seharusnya antusias bermain dengannya malah enggak fokus dan mudah marah lantaran banyak pikiran. Enggak enak kan, Bu?
Sampai akhirnya, saya membaca buku The Secret of Enlightening Parenting karya Psikolog Okina Fitriani. Dari buku itu, saya belajar pentingnya memberdayakan diri ketika kesal dengan pasangan. Caranya dengan mengubah limiting belief dan reframing.
Mengubah limiting belief
Menurut Okina, keyakinan mengenai diri sendiri maupun hal-hal di luar diri yang menghalangi seseorang merespons secara luas disebut limiting belief. Istilah lainnya adalah keyakinan yang tidak memberdayakan.
Contoh keyakinan tidak memberdayakan yang berkaitan dengan diri sendiri misalnya, “Saya ini orangnya sensitif.” Sementara, contoh limiting belief yang berkaitan dengan orang lain seperti, “Pasanganku kerjaannya main handphone saja.”
Okina berpendapat, cara sederhana yang sangat mudah untuk menggugurkan keyakinan tidak memberdayakan itu adalah dengan menilai kembali kenyataan sebenarnya dari sebuah peristiwa.
Misalnya, saya pernah memiliki limiting belief bahwa pasangan lebih suka bermain handphone ketimbang mengasuh anak. Lalu, saya ingat-ingat kembali durasi pasangan bermain handphone dalam sehari. Hasilnya, kurang lebih tiga jam saja bila ia sedang libur di rumah. Ternyata setelah saya pikir-pikir lagi, di luar tiga jam tersebut, suami melakukan banyak hal juga dengan anak-anak. Mulai dari menemani mereka berjalan-jalan di sekitar kompleks perumahan, mengajak si Kakak salat di masjid, dan mengawasi anak-anak bermain ayunan di depan rumah. Baiklah, sepertinya saya saja yang khilaf membuat generalisasi.
Trik ini pun bisa kamu terapkan untuk limiting belief lainnya seperti, “Pasangan saya pelit karena tidak mau membelikan barang-barang yang diinginkan.” Benarkah ia pelit? Coba berusaha ingat kembali hal-hal yang telah ia berikan kepadamu sehingga masih hidup berkecukupan sampai sekarang.
Berusaha untuk berempati
Salah satu caranya adalah dengan menerapkan reframing. Yakni, penggantian bingkai makna terhadap suatu peristiwa sebagai upaya memperluas cara pandang. Sebaiknya reframing ini dibawa ke arah yang mencerahkan dan memberdayakan. Misalnya, ketika suami minta izin bermain futsal di akhir pekan, sementara istri berharap bisa menghabiskan hari libur bersamanya. Saat itu, suami berdalih bahwa agenda tersebut mendadak dan merupakan peluang untuk berkumpul kembali dengan teman-teman lamanya.
Istri boleh menyampaikan keberatan, tapi jangan lupa tetap mengungkapkan reframing yang dikemas dalam bentuk empati. Upaya itu tak hanya dapat menggugah pasangan, tapi juga meredakan emosi diri sendiri.
“Aku dan anak-anak sebenarnya pengen menghabiskan hari libur bersama Ayah. Tapi, karena Ayah mungkin butuh refreshing dan gak ingin melewatkan kesempatan berkumpul dengan teman lama, Ibu ikhlas, deh. Ngumpulnya jangan lama-lama, ya.”
Aspirasi tersebut pun dapat menjadi pengingat bagi suami untuk tidak terlalu lama berkegiatan di luar rumah. Selain itu, harapannya sih, ia memiliki kesadaran pula untuk menghormati hak me-time Ibu di lain kesempatan.
Ketika pikiran kita positif, hidup menjadi lebih mudah, kan?
(Febi/Dok. Shutterstock)
1 comment
Spt nya tulisan ini ditujukan untuk istri saja ya?