Hampir semua ibu baru pernah menjadi korban mom-shaming. Yakni, sikap merendahkan seorang ibu karena pilihan pengasuhannya berbeda dari pilihan-pilihan yang dianut si pengkritik.
Pelaku mom-shaming bisa siapa saja, tak terkecuali sesama ibu. Blogger Kim Simon dalam situs Scary Mommy mengungkapkan mom-shaming sebagai bagian tak terpisahkan dari Mommy Wars, perang antar-ibu.
Biasanya, komentar-komentar para pelaku mom-shaming seperti:
“Ih, kok nyusuin anaknya begitu?”
“Lihat deh cara dia ngurus anaknya, aneh.”
“Untung anak saya enggak begitu. Kalau saya sih cara mendidiknya…..blablabla.”
Sementara korban mom-shaming akan merasa diawasi hingga tertekan karena reaksi orang-orang yang melihat cara ia mendampingi atau mengasuh anaknya.
Bertujuan membuat ibu lain merasa buruk
Menurut Psikolog Monica Sulistiawati, mom-shaming seperti bullying, namun ditujukan kepada ibu yang menjalani pengasuhan terhadap anaknya. Komentar pelaku mom-shaming bernuansa negatif berupa sindiran maupun kritik.
“Tujuannya membuat ibu yang menjadi target merasa salah dan buruk, sementara si pelaku mom- shaming dapat menunjukkan dirinya seolah-olah lebih baik, lebih hebat, lebih unggul, dan sempurna dari ibu-ibu lainnya,” jelas Psikolog Monica kepada Parentalk.
Tak hanya dilakukan langsung, mom-shaming juga dapat terjadi secara online seperti halnya cyberbullying. Misal, pelaku melontarkan kritik pedas pada kolom komentar status maupun foto si ibu di media sosial. Keuntungan jika dilakukan secara online, pelaku mom-shaming dapat menyamarkan identitas dan dapat mengulangi perbuatannya dengan konsekuensi yang rendah.
Pelaku kurang perhatian
Menurut Monica, fenomena mom-shaming antarsesama ibu muncul karena pelaku kurang mendapatkan perhatian dari orang-orang sekitarnya.
“Sebenarnya menjadi seorang ibu butuh dukungan, apresiasi, dan pengakuan baik dari pasangan, orang tua, mertua, ataupun orang lain di sekitarnya. Nah, pelaku mom-shaming umumnya tidak mendapatkan pengakuan ini. Bahkan, mungkin mereka tidak merasa mendapat dukungan sehingga kemudian berusaha membuktikan diri. Namun, cara yang dipilih dengan menjatuhkan ibu-ibu lainnya,” jelas Monica.
Alasan sesama ibu jadi pelaku mom-shaming
Sementara itu, Blogger Kim Simon mengungkap faktor-faktor lainnya yang membuat seorang ibu menjadi pelaku mom-shaming.
Ibu bosan
Menurut Kim, rutinitas sebagai orang tua dapat mematikan pikiran. Karena itulah, perdebatan seputar susu formula dan menyusui dapat menghidupkan kembali neuron dalam otak mereka.
Ibu marah
Ketika menjadi ibu, kamu tidak bisa mengekspresikan kemarahan kepada anak-anaknya layaknya marah terhadap orang dewasa. Kim pun menganalogikannya secara jenaka.
“Saya mendengar diri saya berkata lembut kepada si kecil, ‘Bennie, jangan lempar-lempar makanan. Makanan untuk dimakan,’ sementara pikiran saya berteriak, ‘yang benar aja! Mama bakal lakuin apapun biar bisa makan sarapan hangat-hangat, tapi kamu malah lemparin semuanya ke lantai?!’ Tapi para ibu tidak bisa berkata seperti itu, bukan? Jadi, kita (para ibu) lebih suka ‘berteriak’ satu sama lain,” tulis Kim.
Ibu iri
Pelaku mom-shaming iri melihat ibu lainnya yang tampil lebih paripurna daripada dirinya. Sementara si pelaku membatin, “kapan saya punya waktu untuk mempercantik diri?”
Tak heran upaya membanding-bandingkan penampilan ibu yang satu dengan lainnya tak terelakkan dalam keseharian mereka.
Ibu kelelahan dan terbebani
Ibu mengurusi semuanya mulai dari menyiapkan baju dan makanan untuk suami juga anak-anak, bermain dengan mereka, dan menyelesaikan berbagai tugas rumah tangga lainnya.
“Saya menyukai peran sebagai ibu, tapi saya juga kelelahan karenanya. Lalu kita (para ibu) berselancar di dunia maya dan menggunakan filter pada foto masing-masing demi menyembunyikan keringat dan berbagai keluh-kesah. Kenapa kita saling membohongi tentang kehidupan yang sebenarnya, Bu?” ungkap Kim.
Kalau menemukan kekeliruan, simpan dalam hati
Mungkin kamu adalah seorang ibu yang belajar banyak dari berbagai buku dan seminar. Tapi, suatu saat kamu mendapati seorang ibu baru yang (menurut kamu) menangani anaknya secara keliru, simpanlah kesan tersebut dalam hati.
Bertindaklah bila memang diperlukan, seperti menguatkan ibu yang menangis saat melihat anaknya tantrum di depan umum. Sesama ibu semestinya saling mendukung. Ini karena anak-anak menjadi saksi cara kita memperlakukan satu sama lain. Apakah kita ingin mereka memperlakukan sesamanya dengan sama?
Selain itu, peran suami juga penting. Jangan lupa untuk selalu mengomunikasikan perasaan dan kebutuhan kepada pasangan agar ia dapat selalu menghargaimu.
(Febi/Dok. Pixabay)
1 comment