Sebelumnya kita membahas Mitos VS Fakta Menyusui Sebelum dan Sesudah Persalinan. Kali ini kita bahas Mitos VS Fakta Produksi ASI, ya! Parentalk juga merangkumnya dari diskusi bersama dokter sekaligus konselor laktasi, Sarah Audia, plus Buku Pintar ASI dan Menyusui yang ditulis oleh F. B. Monika.
ASI kuning atau kolostrum
Mitos: ASI berwarna kuning keemasan (kolostrum) tidak baik, jadi sebaiknya dibuang saja.
Fakta: kolostrum banyak sekali manfaatnya, lho. Misalnya, memberikan perlindungan pada bayi dari berbagai penyakit infeksi karena mengandung sel darah putih. Kolostrum juga memiliki efek laksatif (pencahar) yang dapat membantu bayi mengeluarkan tinja pertama (mekonium) dari sistem pencernaan. Dengan begitu, bayi dapat terlindungi dari penyakit kuning (jaundince). Menurut dr. Sarah, hanya kolostrum yang dapat mengeluarkan pigmen kuning dalam tubuh bayi.
Cairan hidup ini hanya ada di tujuh hari pertama kehidupan bayi. Jadi, manfaatkanlah semaksimal mungkin ya, Bu!
ASI encer alias foremilk
Mitos: ASI encer dan bening dibuang saja karena ASI kental lebih baik untuk bayi.
Fakta: ASI berubah dari ASI awal (foremilk) menjadi ASI akhir (hindmilk). Foremilk yang cenderung lebih encer dan bening berfungsi sebagai makanan pembuka atau penghilang haus. Sifatnya kaya protein, tinggi laktosa, dan rendah lemak. Tingginya kandungan laktosa dapat membantu perkembangan otak bayi dan memberikan energi.
Sementara, hindmilk cenderung lebih kental, kaya lemak, dan berperan dalam pertambahan berat badan bayi. Saat menyusui, Ibu tidak dapat membedakan secara pasti antara foremilk dan hindmilk. Penelitian menyatakan, semakin kosong payudara, semakin tinggi kandungan lemak dalam ASI. Jadi, susui si kecil sampai tuntas alias sampai payudara benar-benar kosong, ya!
Hasil perahan menentukan banyaknya ASI?
Mitos: Banyaknya hasil perahan ASI menentukan produksi ASI.
Fakta: Prinsip produksi ASI adalah supply and demand. Dengan begitu, ASI dihasilkan sesuai permintaan dan kebutuhan bayi. Semakin sering bayi menyusu dengan baik, makin banyak pula produksi ASI. Selain itu, suasana hati Ibu turut mempengaruhi.
Hasil perahan pun tak bisa dijadikan patokan kuantitas ASI. Sebaiknya Ibu lebih memperhatikan tanda-tanda kecukupan ASI pada bayi seperti frekuensi buang air kecil, pola buang air besar, pertumbuhan bayi, perilaku bayi, dan perkembangan bayi.
Busui makan pedas
Mitos: Bila ibu menyusui mengonsumsi makanan pedas, anak bisa diare.
Fakta: Menurut Konselor Laktasi F. B. Monika, secara umum, Ibu bisa makan apa saja, termasuk makanan pedas.
Banyak ibu di berbagai negara mengonsumsi makanan pedas dan tidak ada bukti bahwa bayi mereka menjadi rewel, sering kembung, atau mengalami masalah kesehatan.
Sementara menurut dr. Sarah, penyebab diare terbanyak adalah infeksi (virus/bakteri/parasit). Perubahan pola buang air besar bisa terjadi akibat intoleransi protein asing pada makanan Ibu.
Busui pantang makanan tertentu?
Mitos: Busui perlu pantang banyak makanan untuk mencegah alergi pada bayi.
Fakta: Jika tidak ada alergi, busui dapat mengonsumsi variasi makanan, kok. Konsumsilah makanan dengan gizi seimbang. Hanya sebagian kecil ibu menyusui yang dapat merasakan reaksi jelas pada perilaku dan kesehatan bayi mereka akibat konsumsi makanan atau minuman tertentu.
Bila menemukan tanda-tanda alergi seperti ruam merah pada kulit, biduran, muntah, hidung berlendir, dan sebagainya, telusuri riwayat alergi pada keluarga. Segera konsultasikan juga pada dokter spesialis anak.
Bayi sudah 6 bulan perlu susu formula?
Mitos: bayi yang berusia di atas enam bulan perlu mengonsumsi susu formula untuk menunjang tumbuh kembangnya.
Fakta: Mulai dari hari pertama menyantap makanan pendamping ASI (MPASI), anak mulai diperkenalkan dengan hidangan empat bintang. Yakni, mencakup sumber karbohidrat, protein hewani, kacang-kacangan (sumber protein nabati dan mineral zat besi), dan vitamin A dari sayuran dan buah. Dengan memenuhi kebutuhan nutrisi tersebut dan tetap mengonsumsi ASI, anak tidak memerlukan susu tambahan hingga berusia dua tahun.
Kalau sudah paham seputar produksi ASI, berikutnya kita bahas Mitos VS Fakta Payudara Busui, ya!
(Febi/Dok. Pixabay)