Segala sesuatu yang cenderung menjadi masalah tentu bisa dibicarakan dengan baik-baik. Melakukan banyak pertimbangan adalah salah satu metode mencari solusi yang umum dilakukan, tapi banyak yang melakukan tanpa kesadaran penuh. Alhasil, solusi yang muncul kerap berdasarkan emosi semata, di mana kebanyakan hanya menguntungkan satu pihak saja.
Alih-alih mencari solusi, kalau seperti ini, hanya memunculkan masalah lagi.
Hola Parents! Apa kabar hari ini? Semoga semuanya sehat dan lancar jaya, ya!
Dari prolog singkat di atas, sepertinya kita akan membahas masalah yang sedikit lebih serius dari pada biasanya. Masalah ini, kerap ada di lingkungan kita. Bahkan, kita sendiri pernah merasakan masalah ini.
Perdebatan yang dilakukan tanpa kesadaran memang harus diakui hanya akan menimbulkan masalah yang lain, Parents. Mungkin yang sebelumnya kita berharap perdebatan atau melakukan banyak pertimbangan ini bisa mendapati solusi, tapi malah mempunyai akhir yang tidak sesuai dengan ekspektasi.
Jadi gini, Parents. Ada isu yang begitu menarik untuk kita bahas lebih dalam. Seperti yang sudah tertera di dalam judul di atas, sebenarnya – bisa dikatakan masalah ketika dua belah pihak – suami-istri, tidak menemukan jalan tengah dari pertimbangan yang dilakukan.
Pada dasar yang juga tercampur dengan paham society atau lingkungan – mungkin lebih dalam lagi kita bisa sebut budaya – laki-laki kerap dianggap atau lebih tepatnya diharuskan untuk menafkahi istri dan keluarga. Secara budaya, agama, lingkungan – semuanya setuju akan hal ini.
Tapi, zaman bergerak. Hampir semua hal di dalam sebuah ekosistem, terutama di ekosistem rumah tangga, shifting ke beberapa arah yang begitu menarik buat dibahas lebih dalam lagi. Seperti salah satunya adalah peran laki-laki atau suami di dalam rumah tangga. Sekarang ini, laki-laki atau suami yang mengurus rumah – bukan lagi hal yang tidak umum.
Mungkin untuk sebagian masyarakat yang menganut paham atau ideal sebelumnya, tidak setuju akan hal ini. Well, tidak masalah – karena keadaan rumah tangga sepertinya adjustable untuk menemukan titik tengah yang nyaman untuk berbagai pihak.
Suami-istri sama-sama bekerja juga bukan hal aneh lagi sekarang ini. Peran perempuan atau ibu, tidak lagi hanya mengurus rumah dan dapur atau anak – bahkan, salut untuk banyak perempuan di sana yang mempunyai multiple roles.
Shifting atau pergeseran ini tidak ayal membawa banyak diskusi dan paham-paham baru, di mana tidak mungkin tidak bergesekan dengan paham-paham yang sudah ada sebelumnya. Seperti paham di mana laki-laki adalah ujung tombak keluarga untuk mencari nafkah. Kalau perempuan mau ikut bekerja lagi – apa salahnya? Intrik ini tentu menyenggol ego berbagai pihak, bahkan sampai melarang. Pertanyaannya, kenapa?
Jawaban yang kerap muncul dari pertanyaan di atas biasanya subjektif. Di lingkup ini, tidak ada yang salah atau benar, jika dilakukan dengan penuh kesadaran. Tapi, mari kita selami bersama – alasan apa sih suami melarang istri untuk bekerja lagi?
Keadaan Terkini
Survei yang dilakukan Jakpat pada tahun 2023 lalu tentang hal ini, begitu menarik untuk dikupas lebih dalam. Dengan jumlah responden sebanyak 703 orang, banyak insight menarik yang bisa kita ketahui bersama.
Seperti keadaan sebenarnya, ternyata hanya 22,6% saja yang melarang istri bekerja, 77,4% lainnya memperbolehkan istri bekerja. Dari dua data tersebut, kita akhirnya mengetahui bahwa pergeseran atau shifting yang terjadi di relasi suami-istri benar-benar terjadi.
Oke, sekarang dengan angka yang cukup tinggi – kita sudah sama-sama paham tentang mayoritas yang memperbolehkan istrinya bekerja. Kita bisa melihat mereka lebih dalam yang melarang atau tidak memperbolehkan istrinya bekerja.
6 Alasan Suami Tidak Memperbolehkan Istri Bekerja
Dari 159 responden yang tidak memperbolehkan istrinya bekerja, mereka mempunyai berbagai alasan menarik terkait hal ini.
- 78,6% beralasan agar istri fokus mengurus anak.
- 46,5% beralasan agar istri mendapatkan istirahat yang cukup
- 13,8% keuangan keluarga sudah stabil
- 6,9% budaya keluarga
- 1,3% takut karir istri lebih cemerlang
- 1,3% alasan lain
Dari angka di atas, banyak sekali interpretasi yang bisa dilakukan. Dua alasan teratas, mungkin menjadi alasan paling umum jika memang suami tidak memperbolehkan istri untuk bekerja lagi. Namun, satu alasan menarik – walau hanya 1,3% saja, tetapi begitu menarik untuk dibahas lebih dalam: takut karir istri lebih cemerlang.
Mungkin kita akan mengesampingkan terlebih dahulu sifat jawaban rasional dan irasional. Ada hal yang lebih fundamental berkaitan dengan alasan ini.
Ketakutan atau kekhawatiran tentu mempunyai dasar atau landasan lain yang menjadikan rasa takut atau khawatir ini semakin solid. Interpretasi yang berkaitan dengan hal ini ada dua hal, cemburu dan iri.
Albert R. Clarke di dalam A Phenomenological Study of Jealousy Within Marriage – Department of Psychology, Georgia State University, menjelaskan bagaimana rasa jealous atau cemburu itu terjadi dan bahkan mengakar di tubuh seseorang.
Clarke membeberkan ternyata ada beberapa teori yang berkaitan dengan munculnya rasa cemburu dalam pernikahan.
Salah satu teorinya adalah jealousy and culture, di mana teori ini mengupas munculnya rasa cemburu berkaitan dengan segala hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk dengan berbagai nilai budaya yang ada.
Jika kita kaitkan, alasan tidak memperbolehkan istri bekerja karena takut karir istri lebih cemerlang, sepertinya nyambung dengan teori di atas. Mungkin pertanyaan yang sudah dari tadi Parents mau tanyakan adalah memangnya kenapa kalau karir istri lebih cemerlang? Apakah itu jadi pertanda gagalnya menjadi seorang suami?
Jawaban dari dua pertanyaan tersebut tentu akan bermacam-macam, tergantung dari sudut pandang mana yang akan dibawakan. Tapi, satu hal yang cukup jelas terlihat juga bahwa ada beban nilai budaya yang suami atau laki-laki rasakan jika memang benar karir istri lebih cemerlang.
Berkemungkinan besar bahwa nilai budaya di dalam lingkungan masuk ke dalam paham-paham suami dan istri. Nilai-nilai tersebut diantaranya tentu yang sudah tertanam sejak lama, atau terinjeksi baru-baru ini. Satu hal yang pasti, poin ini jelas memengaruhi.
Penting atau tidak penting hal ini, interpretasi yang fundamental untuk kita ketahui bersama adalah bagaimana merespon cemburu antara suami dan istri dengan konteks karir. Karena bukan hal yang tidak mungkin jika keadaannya berbalik.
Jadi…
Salah satu hal yang tidak kalah fundamental di relasi suami dan istri adalah kesadaran penuh saat melakukan pertimbangan atau diskusi. Kesadaran ini tentu mengarah kepada alasan-alasan yang rasional dan bisa dipertanggung jawabkan.
Akan tetapi, tentu – setiap pasangan punya caranya masing-masing. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kondisi ini begitu adjustable – sehingga, harapannya tidak ada paksaan untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah.
Jadi, bagaimana Parents bahasan kali ini? Semoga bahasan kali ini bisa menjadi bahan diskusi segar untuk pasangan, ya!