Berita ibu yang menyakiti anaknya sendiri sudah berkali-kali diberitakan media massa. Salah satu pemicu tersering berbagai peristiwa tersebut adalah depresi yang dialami oleh sang ibu. Namun, belum banyak orang yang berupaya melihatnya dengan sudut pandang berbeda. Justru masih banyak pihak yang menyalahkan pelaku sepenuhnya. Padahal, kita perlu memahami juga bahwa gangguan kejiwaan ibu seperti depresi dan psikosis pascamelahirkan tak muncul karena faktor tunggal, tapi banyak faktor.
Menurut Nur Yanayirah, pendiri komunitas yang peduli dengan kesehatan jiwa ibu, Mother Hope Indonesia, penyebab postpartum depression (PPD) mulai dari faktor biologis, psikologis, sosial, fisik, sampai masalah finansial.
“Ibunya mungkin sudah diedukasi dan strong. Tapi, tetap saja banyak faktor eksternal yang membuat ibu depresi,” ungkap perempuan yang akrab disapa Yana itu kepada Parentalk.
Berikut dampak serta gejala depresi dan psikosis pascamelahirkan yang perlu kita ketahui.
Dampak depresi
Konselor Menyusui F.B. Monika yang pernah melalui gangguan pascapersalinan mengingatkan, jangan sampai baby blues syndrome berkembang menjadi PPD. Lewat Buku Pintar ASI dan Menyusui, ia mengungkapkan bahwa satu dari tujuh ibu baru berisiko mengalami PPD berdasarkan penelitian.
Menurutnya, depresi dapat berdampak pada masalah menyusui, perilaku agresif dan hiperaktif pada ibu, terhambatnya perkembangan kognitif bayi, sampai masalah sosial maupun emosi anak di masa mendatang.
Gejala-gejala depresi
Untuk mencegah akumulasi faktor penyebab yang berujung pada depresi, ibu maupun orang-orang terdekat perlu peka dengan gejala-gejalanya.
- Awalnya tampak seperti baby blues, namun tanda-tandanya makin memburuk serta mulai mengganggu aktivitas normal harian dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang (bisa berbulan-bulan bila tidak segera ditangani).
- Hilang nafsu makan.
- Insomnia.
- Makin sering cepat marah.
- Merasa hidup tidak menyenangkan.
- Merasa malu, bersalah, dan tidak kompeten.
- Merasakan ketidaknyamanan yang makin parah.
- Kesulitan berinteraksi.
- Sulit berada dekat dengan bayi, bahkan tidak tertarik dengan bayinya sendiri.
- Tidak ada energi dan motivasi serta kehilangan gairah melakukan interaksi fisik dengan suami.
- Menarik diri dari keluarga dan teman.
- Khawatir menyakiti diri sendiri dan bayi.
- Ibu merasa bersalah berlebihan.
- Kecemasan yang tidak masuk akal bagi orang-orang sekitarnya.
- Adanya keinginan untuk bunuh diri.
Sementara, gejala-gejala yang mengindikasikan ibu mengalami psikosis pascamelahirkan:
- berkeinginan menyakiti buah hatinya,
- mengalami delusi maupun halusinasi seperti menerima ‘bisikan’ untuk menyakiti anak kandungnya, dan
- melihat bayi dalam bentuk lain yang menyeramkan.
Waspadai depresi sejak kehamilan
Yana mengungkapkan bahwa PPD dan psikosis pascapersalinan dapat pula dipicu oleh depresi sejak kehamilan.
Selain gejala-gejala tadi, orang terdekat maupun tenaga kesehatan perlu mewaspadai tanda-tanda depresi pada ibu hamil:
- tidak suka dengan kehamilannya,
- tidak mau memeriksakan kandungan, dan
- menyakiti diri sendiri saat hamil.
“Kalau belum mengalami gejala depresi, jangan sampai ibu itu mengalami depresi. Tapi, kalau ibu itu sudah mengalami gejala depresi, kita harus merujuk ibu hamil tersebut ke psikolog atau ke psikiater karena lebih baik ibu itu diobati saat hamil muda daripada setelah ia melahirkan karena bebannya lebih berat setelah punya anak,” jelas Yana kepada Parentalk.
Lalu, apa yang bisa dilakukan ibu maupun orang-orang terdekatnya ketika menyadari ia mengalami gejala depresi? Apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko depresi pascamelahirkan pada ibu? Jawabannya bisa kita ketahui di artikel Bantuan untuk Ibu dengan Gejala Depresi.
(Febi/ Dok. Shutterstock)