Sebagai Millennial Parents yang hidup di era digital, rasanya sulit bila tak menggunakan gawai sama sekali dalam menjalani hari. Kebiasaan kita berkutat dengan gawai untuk berbagai urusan pun menarik perhatian Si Kecil yang ingin ikut mencobanya. Ada kalanya juga saya membolehkan si kakak yang berusia tiga tahun untuk menikmati screen time melalui gawai karena berbagai situasi. Contoh-contoh situasinya bisa Parents lihat di artikel Manfaat Screen Time Bila Digunakan dengan Bijak.
Saya pribadi memegang prinsip anak boleh menikmati screen time pada saat tertentu asalkan aturannya jelas dan diberlakukan tegas. Meski begitu, tetap saja saya sering merasa was-was karena menyadari sejumlah efek negatif gawai bagi anak. Dampak negatif inilah yang mendorong saya untuk berusaha sebisa mungkin membatasinya.
Membuat pancaindra anak kurang terstimulasi
Menurut Konselor Perkembangan Anak Ratih Pramanik, gawai dan televisi membuat perkembangan sel otak anak kurang terstimulasi. Pasalnya, hanya sel otak tertentu yang mendapatkan rangsangan. Alhasil, sambungan otak (dendrits) dan sel otak pun tidak berkembang optimal.
“Sel otak pada bayi yang baru lahir ada 100 miliyar. Sayangnya, sel otak perlahan akan mati bila tidak terstimulasi. Berapa banyak sel otak yang akan terbuang percuma bila anak-anak kita hanya menatap layar kaca, jarinya hanya bergerak sesekali saat memindah layar, dan hanya duduk memegang gadget?” jelas Ratih dalam blog-nya.
Overstimulasi
Bayangkan, indra apa saja yang menerima terlalu banyak rangsangan ketika menonton televisi atau gawai? Indra penglihatan dan pendengaran saja tentunya karena anak menyaksikan banyak gambar audio visual yang bergerak cepat. Sementara, indra-indra lainnya kurang mendapatkan stimulasi lantaran ia hanya duduk diam untuk waktu yang lama.
Terlebih, Psikiater Anak Victoria L. Dunckley melalui Psychology Today mengungkapkan, screen time yang moderat, namun teratur dapat menyebabkan sistem saraf anak yang masih sensitif mengalami overstimulasi dan terlalu ‘bergairah.’ Hal ini pun mengakibatkan otak berada pada kondisi stres kronis dan menimbulkan sejumlah gejala yang memperburuk kesehatan mental, proses belajar, dan gangguan perilaku.
Mempengaruhi kemampuan verbal anak secara negatif
Mulai dari terlambat bicara sampai bingung bahasa. Kondisi bingung bahasa bisa terjadi pada anak bila bahasa ibunya adalah Bahasa Indonesia, namun ia sering terpapar bahasa asing ketika menonton televisi. Kebingungan dalam berbahasa ini pun membuat anak sering kesulitan mengungkapkan keinginannya.
Menurut Ratih, salah satu kunci agar kemampuan berbahasa anak berkembag baik adalah stimulasi seluruh pancaindranya guna memudahkan pemahaman kosakata. Caranya dengan melibatkan Si Kecil dalam ragam permainan edukatif dan mengajaknya bereksplorasi di luar rumah. Selain itu, kita harus konsisten berbahasa dengan anak.
Karena itulah, aktivitas menonton televisi berjam-jam justru menghambat kemampuan berbahasa anak karena ia cenderung ‘terhipnotis.’ Jika ingin anak lancar berbahasa, intensifkan interaksi dua arah secara tatap muka.
Membuat anak ketergantungan pada gawai
Ini hal yang saya saksikan sendiri. Ketika kita tidak tegas menerapkan aturan tentang penggunaan gawai, anak akan terus memintanya. Misalnya saja, ayah saya mudah sekali memberikan gawai kepada anak-anak ketika kami berkunjung di rumahnya. Jadi, ketika bersua dengan sang kakek, hal pertama yang mereka ungkapkan adalah keinginan untuk bermain gawai miliknya.
Meningkatkan risiko anak tantrum
Ada beberapa kemungkinan yang mencetusnya. Pertama, anak tantrum karena kesulitan mengungkapkan keinginannya sebagai dampak bingung bahasa. Kedua, anak tantrum dan menjadi hiperaktif karena energinya tersimpan akibat duduk lama. Ketika screen dimatikan, energi tersebut pun keluar lewat amarah atau tantrum. Kecanduan gawai juga membuat anak lebih mudah marah ketika keinginan untuk memainkannya tidak dituruti.
Semoga informasi di atas mendorong kita lebih bijak lagi menerapkan aturan penggunaann gawai oleh anak, ya!
(Febi/Dok.Shutterstock)