Alpha Female jadi sosok yang tidak asing lagi di beberapa akhir tahun terakhir ini. Istilah ini sempat menuai banyak pendapat, di mana sekarang ini, cenderung ada penerimaan dengan pemikiran yang lebih luas.
Hai hai, Parents! Semoga hari ini lancar-lancar saja, ya!
Sebentar, mungkin sebelum kita melanjutkan pembahasan kali ini, bijaknya kita mesti paham dulu Parents dengan definisi alpha female. Alpha female adalah sosok perempuan yang bisa menduduki posisi paling tinggi di lingkungan pekerjaan, berkontribusi di masyarakat, mengelola bisnis sendiri, bahkan menjadi tulang punggung dalam mencari nafkah utama untuk keluarga.
Kurang lebih seperti itu ya Parents definisi dari alpha female. Nah, yang mau kita bahas kali ini adalah bagaimana cara mereka saat membangun relasi. Seperti yang kita sudah ketahui bersama bahwa koneksi adalah salah satu hal penting dalam pekerjaan, bisnis, atau apapun itu.
Terlebih, di zaman sekarang yang tidak lagi mementingkan kompetisi, melainkan sinergi atau kolaborasi. Sehingga, koneksi atau relasi adalah hal penting untuk mendapatkan symbiosis mutualisme.
Koneksi yang dimaksudkan di sini juga tidak hanya untuk lingkup pekerjaan, bisnis atau lainnya – bisa juga dimaksudkan dengan relasi atau hubungan ke lawan jenis. Alpha female yang terkenal dengan segala karakter dominannya – bagaimana ya cara mereka bangun koneksi ke lawan jenis?
Dr. Adriana S. Ginanjar, M.S., psikolog dari Universitas Indonesia yang juga berpraktik sebagai konselor perkawinan memberikan penjelasan bahwa seorang alpha female biasanya tidak menyukai pasangan yang posesif atau pencemburu.
Lebih dalam lagi, alpha female berharap mendapatkan pasangan yang bisa memberikan kebebasan, kepercayaan, bisa memberikan apresiasi terhadap apa yang dia lakukan, sampai memberikan kesempatan untuk menampilkan atau mengaktualisasi diri.
Nah, harapan ideal dan karakter yang berdaya dari seorang alpha female seperti ini kerap menjadi ‘ancaman’ bagi seorang pria. Terlebih, jika pria tersebut datang dengan latarbelakang tradisional yang nilai-nilai patriarkinya masih kuat.
Lalu, apakah ‘ancaman’ tersebut bisa dinilai wajar atau normal? Sebenarnya, tidak perlu dianggap seperti itu karena salah satu hal yang bisa ‘menyeimbangkan’ kondisi-kondisi seperti itu adalah toleransi.
Misalnya begini Parents:
Seorang alpha female berusaha menjaga keseimbangan hubungan dengan cara mengadopsi nilai-nilai ketimuran. Seperti menunjukan sikap hormat pada suami, sesekali menyempatkan diri untuk memasak buat keluarga di weekend atau bahkan mengantarkan anak ke sekolah, sampai bergaul akrab dengan keluarga besar.
Jika respon suami dari alpha female seperti memberikan lebih banyak kebebasan dengan kepercayaan, penerimaan, sampai dukungan pada istri dalam mengembangkan diri – nah, di sinilah keseimbangan tersebut terjadi.
Untuk mewujudkan toleransi atau keseimbangan pada tahap seperti itu, komunikasi yang terbuka adalah pondasi penting yang harus dibiasakan. Hal ini akan mengacu kepada rasa saling mengerti dan memahami apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan dari pasangannya masing-masing.
Karakteristik komunikasi yang terbuka bisa diterapkan di banyak sektor dalam rumah tangga. Seperti besar atau kecilnya gaji suami dan istri – sampai ke berbagai kebutuhan yang mesti disiapkan setiap waktunya. Adriana juga menambahkan bahwa sikap saling menerima atau legowo, serta rendah hati akan menjadi kunci penting untuk menjaga keharmonisan dalam sebuah hubungan yang melibatkan alpha female.
Jadi, seperti itu ya Parents – sebenarnya, hal-hal yang sudah dijelaskan di atas tidak hanya berlaku ke sebuah hubungan yang berkaitan dengan alpha female. Di hubungan yang lain pun juga seperti itu.