Semakin banyak belajar tentang polah asuh dan perkembangan anak, semakin besar keinginan saya untuk mendedikasikan lebih banyak waktu untuk buah hati. Apalagi banyak pakar yang menegaskan, enam tahun pertama kehidupan merupakan periode penentu keberhasilan tumbuh kembang jangka panjang seorang anak. Inilah yang memantapkan hati saya berhenti menjadi wanita karier untuk mengurus anak.
Siap dengan beragam respons
Saya pun menerima beragam tanggapan soal pilihan tersebut. Sebagian menyayangkan perjalanan karier dan posisi yang sudah saya capai terakhir kali. Namun, ada juga yang mendukung keputusan saya yang tak lain adalah kepala divisi tempat saya bekerja.
“Dulu, istri juga saya suruh berhenti bekerja dan fokus mengurus anak-anak,” katanya.
Saya merasa lega mendengar hal itu. Selain karena didukung, saya juga merasa telah mengundurkan diri secara baik-baik.
Meski begitu, ada pula beberapa kolega yang menyangsikan keputusan saya.
“Yakin mau keluar? Nanti enggak ada pemasukan sendiri, pusing, lho.”
“Hati-hati dengan peralihan dari sibuk bekerja ke beraktivitas di rumah aja. Kamu bisa stres nantinya.”
Kira-kira begitu tanggapan mereka.
Sebenarnya saya sudah berpikir matang-matang sebelum berhenti menjadi wanita karier untuk mengurus anak. Namun, saya tetap memperhitungkan lagi dan mempersiapkan sejumlah hal. Tujuannya agar bisa menjalankan keputusan berhenti menjadi wanita karier untuk mengurus anak dengan istiqomah.
Adanya keinginan untuk memiliki lebih banyak waktu merawat dan menstimulasi anak
Kebetulan anak saya dua dan semuanya masih balita. Itu berarti saya masih mempunyai kesempatan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang mereka di 1.000 hari pertama kehidupan keduanya, berbekal pembelajaran selama ini. Pendapat saya pribadi menguatkan, “Uang bisa dicari kapan saja, sementara periode emas anak hanya sekali seumur hidup.”
Poin pertama ini merupakan alasan terkuat saya berhenti bekerja untuk mengurus anak.
Memperhitungkan kembali quality time bersama anak
Sebelumnya, total durasi yang dihabiskan dari saya berangkat hingga pulang bekerja adalah 12-13 jam (ini sudah termasuk waktu bermacet-macetan di jalanan Jakarta). Kalau saya hitung-hitung, quality time bersama anak hanya 3 jam, sementara sisa waktunya terpakai untuk tidur hingga esok hari. Berangkat dari semangat mengoptimalkan tumbuh kembang anak, saya tersadar bahwa waktu saya minim sekali untuk anak-anak.
Ada atau tidaknya orang yang bisa diandalkan merawat dan menstimulasi anak bila saya tetap bekerja
Kebetulan, jawabannya tidak. Ini karena mertua saya berdagang dari pagi hingga sore, sementara ibu saya sibuk mengurus adik-adik saya dan tugas rumah tangganya. Itu berarti saya tidak bisa menitipkan anak untuk durasi yang lama.
Bagaimana dengan pengasuh? Selama punya anak, saya sudah beberapa kali gonta-ganti pengasuh. Rasanya saya menyerah bila harus menggantungkan sebagian besar waktu anak-anak pada pengasuh. Apalagi, para pengasuh muda zaman now sulit sekali lepas dari smartphone-nya. Saya juga sudah lelah mengikutsertakan pengasuh yang baru pada babysitter class serta menjelaskan prinsip pengasuhan saya dan suam dari awal lagi.
Bagaimana dengan daycare? Setelah anak pertama saya menjadi peserta daycare selama enam bulan, ia akhirnya mogok untuk mengikutinya. Kami pun berhenti memasukkannya ke daycare.
Kondisi perekonomian keluarga
Saya dan suami benar-benar merintis perekonomian rumah tangga kami dari nol. Sejujurnya dengan kehadiran dua balita seperti sekarang ini, rasanya sulit bila perekonomian kami hanya mengandalkan penghasilan suami. Saya pun berusaha realistis bahwa pemasukan tetap harus ada dari sisi saya meski jumlahnya lebih kecil dari penghasilan sebelumnya. Akhirnya saya memutuskan mengambil freelance menulis. Mungkin, pilihan lain untuk ibu-ibu lainnya bisa dengan merintis bisnis jasa atau online shop kecil-kecilan sesuai hobi masing-masing. Selain membantu pengeluaran beli popok dan perlengkapan anak lainnya, penghasilannya juga bisa untuk me time tanpa membebankan suami.
Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah adanya tanggungan pribadi seperti membiayai sekolah adik atau cicilan. Untuk sekarang, saya sendiri terbebas dari keduanya sehingga bisa legowo dengan keputusan berhenti menjadi wanita karier untuk mengurus anak.
Di sisi lain, kalau kondisi finansial suami sudah cukup mapan, dedikasi penuh sebagai ibu rumah tangga menurut saya adalah ide terbaik. Namun, tidak semua ibu seberuntung itu, bukan?
Me time dan aktualisasi diri
Buat saya, keduanya punya benang merah dalam membahagiakan diri seorang ibu. Ingat, kewarasan dan kebahagiaan ibu menentukan kesejahteraan anak juga suami. Apalagi ketika seorang perempuan sudah memutuskan menjadi ibu rumah tangga, pergaulan dan newsfeed media sosial akan jadi salah satu cobaan terberatnya. Godaan untuk membandingkan ‘etalase’ kehidupan pribadi dengan orang lain akan sulit terelakkan.
Jadi, sebelum memutuskan berhenti menjadi wanita karier untuk mengurus anak, seorang ibu harus bisa menjamin me time dan aktualisasi dirinya tetap terpenuhi. Misal, seperti kesempatan untuk berolahraga, mengikuti kegiatan komunitas, atau sekadar berkumpul dengan teman-teman. Untuk kasus saya, keputusan menjadi freelancer sudah mencakup me time dan aktualisasi diri.
Kemungkinan ketersediaan waktu untuk menyalurkan hobi sebaiknya didiskusikan juga bersama suami dan support system yang kamu percaya.
Dukungan suami
Ini adalah tiket emas bagi saya untuk berhenti menjadi wanita karier untuk mengurus anak. Beruntung, suami tak hanya mendukung penuh semangat saya untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Ia juga menyanggupi kebutuhan-kebutuhan saya ketika lebih banyak menghabiskan waktu bersama buah hati di rumah, yakni me-time dan aktualisasi diri.
Berdoa
Sebagaimana pepatah, “Manusia berencana, Tuhan memutuskan.” Untuk salah satu keputusan terbesar dalam hidup ini, saya selalu menyebutkannya dalam doa setiap salat. Saya merasa, proses mewujudkan keputusan tersebut dimudahkan dan barangkali ini memang jalan dari-Nya. Mulai dari menemukan pekerjaan freelance yang tepat sampai proses resign dari kantor yang berjalan lancar. Hati saya juga merasa lebih mantap dengan keputusan tersebut, no drama.
Poin-poin di atas tentunya pertimbangan saya pribadi. Semua kembali lagi ke kondisi masing-masing ya, Bu! Semoga kisah saya ini bisa memberikan pandangan baru.
(Febi/Dok. Shutterstock)