“Kepala saya sangat pusing, sakit sekali. Saya akan kesulitan bernafas. Dada sakit seperti terhempit. Energi saya habis. Saya juga mengalami anhedonia, pesimis, juga apatis terhadap diri sendiri, pasangan, anak-anak, dan dunia. Saya kesulitan tidur sekeras apapun mencobanya. Nafsu makan saya hilang seperti orang yang habis kena tipes. Tak jarang saya mual dan muntah tanpa sebab yang jelas. Bangun dari tempat tidur, mandi, menyisir rambut dan merawat diri lainnya seperti olahraga berat. Saya merasa jelek, buruk, gagal, dan pantas dihukum. Pada kasus saya, lama-kelamaan akan muncul bisikan yang menyuruh diri untuk bunuh diri dan juga bunuh diri bersama anak saya sendiri.”
Itulah penjelasan Pendiri Komunitas Mother Hope Indonesia (MHI) Nur Yanayirah saat menggambarkan kondisi fisik dan jiwa ibu yang mengalami postpartum depression (PPD). Gangguan pascapersalinan yang dapat memicu berbagai dampak, seperti masalah menyusui, perilaku agresif dan hiperaktif pada ibu, juga masalah sosial maupun emosi anak di masa mendatang.
Kali ini Parentalk membahas lebih jauh banyak faktor yang membuat ibu depresi pascamelahirkan. Harapannya, hal-hal ini bisa Ibu komunikasikan ke orang-orang terdekat juga membuat kamu lebih berempati dengan sesama ibu yang mengalaminya.
Persalinan traumatis memicu depresi
Nur Yanayirah, akrab disapa Yana, lebih jauh lagi mengisahkan kondisinya saat mengalami PPD pada 2011-2013 silam.
Pengalaman traumatis melahirkan bayinya yang wafat saat 28 minggu kehamilan membuat Yana trauma dan didagnosis depresi. Belum lagi, ia merasa bahwa tenaga kesehatan yang menanganinya saat itu kurang menunjukkan sikap empati.
“Pengalaman traumatis yang ada di rumah sakit itu membuat saya menjadi trauma, jadi sering mimpi buruk, merasa bersalah ada gejala-gejala seperti sedih, murung, tidak mau keluar rumah. Nah, itu berlanjut terus sampai saya hamil anak kedua lima bulan kemudian,” jelas Yana kepada Parentalk.
Perlakuan yang membuat seorang ibu rentan depresi
Yana tidak bisa menikmati kehamilannya secara psikis maupun fisik. Selain depresi, saat itu ia juga tidak fit dan sering mengalami pendarahan. Kondisi tersebut membuatnya lebih sering mengurung diri di rumah dan enggan bersosialisasi dengan orang lain.
Usai bersalin anak kedua, kondisi Yana bertambah parah, namun banyak pihak yang menyayangkan situasi tersebut.
“Saya akhirnya bisa punya anak setelah empat tahun menikah. Banyak orang mempertanyakan, ‘Kenapa malah sedih dan murung? Kenapa tidak bahagia dengan kehadiran bayinya? Kenapa menjadi lebih mudah tersinggung, sensitif, uring-uringan, dan tidak ada ada semangat hidup?’ Banyak juga yang bilang, ‘Oh, kamu enggak bersyukur, kamu enggak beriman,” kenang Yana.
Reaksi-reaksi tersebut bahkan datang dari keluarga dan sahabatnya sendiri sehingga membuat kondisi Yana semakin parah.
“Ketika meminta dukungan, saya malah lebih down karena mereka enggak bisa menerima kondisi saya,” tambah Yana.
Ada banyak penyebab depresi pascamelahirkan
Menurut Psikolog Keluarga Vera Itabiliana, sindrom depresi pascamelahirkan baru dapat pulih dalam waktu setahun. Berbeda dengan baby blues yang berlangsung dua minggu dan paling lama sebulan.
Jika ibu yang mengalami PPD tidak segera ditangani, risiko postpartum psikosis dapat mengancam. Saat mengalami gangguan kejiwaan ini, seorang ibu biasanya berkeinginan untuk menyakiti buah hatinya sehingga harus dipisahkan.
Sementara Yana berpendapat, kasus-kasus seperti PPD dan psikosis pascamelahirkan disebabkan banyak faktor.
“Orang hanya tahu satu faktor itu saja, tapi ternyata banyak faktor yang membuat ibu itu mengalami depresi berat dan psikosis pascamelahirkan,” jelas Yana.
Faktor biologis
- Riwayat gangguan kejiwaan pada diri sendiri maupun keluarga seperti depresi dan skizofrenia, bipolar, dan lainnya.
- Gangguan hormon pada hipertiroid atau hipotiroid.
- Menderita diabetes atau penyakit-penyakit lainnya yang mempengaruhi suasana hati ibu.
Faktor psikologis
Ibu terlalu perfeksionis. “Ibunya terlalu ingin sempurna, ingin hebat, ingin segala sesuatunya teratur dan sempurna. Itu juga mempersulit keadaan,” jelas Yana.
Faktor sosial
Menurut Yana, faktor sosial yang paling banyak menjadi penyebab seorang ibu depresi:
- Kurang dukungan dari suami.
- Nihil atau minimnya dukungan untuk menyusui.
- Ibu menerima kritikan karena memberikan susu formula sehingga orang melihatnya sebagai ibu yang tidak mau berusaha.
- Adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
- Konflik dengan keluarga seperti suami, ipar, mertua, atau orang tua.
- ‘Perang’ antaribu.
Faktor fisik
- Ibu sering keguguran.
- Bayi meninggal.
- Bayi prematur.
- Ibu menderita eklampsia atau preeklampsia.
- Bayi sakit atau berkebutuhan khusus.
- Trauma dengan pengalaman melahirkan
- Rasa sakit pascabersalin misalnya karena operasi caesar terlalu sakit atau nyeri akibat episiotomi (sayatan di bagain perineum untuk mempercepat persalinan).
- ASI tidak lancar.
Masalah finansial
- Tidak ada kepastian, misal karena suami terkena PHK.
- Suami pengangguran.
- Ibu menikah terlalu muda.
- Hamil di luar nikah.
Lalu, bagaimana ibu dan lingkungan sekitar dapat mengindentifikasi gejala depresi pada dirinya? Selengkapnya pada artikel berikut ini.
Referensi lain: Buku Pintar ASI dan Menyusui oleh F. B. Monika
(Febi/ Dok. Shutterstock)