Amanda Mitsuri tidak menyangka akan melahirkan di usia kandungan delapan bulan karena mengalami preeklamsia. Si Kecil pun lahir dengan berat lahir 1,8 kilogram dan harus dirawat di NICU selama seminggu. Meski terlahir prematur, ia ingin anak pertamanya mendapatkan ASI eksklusif. Karena itulah, ia rajin memompa ASI selama terpisah dengan buah hatinya.
“Dalam satu minggu aku berupaya supaya ASI sudah siap pas dia pulang. Aku menjalani breast care (perawatan payudara) seminggu sekali ke bidan langgananku. Aku pumping dua jam sekali. Selama dua minggu pertama masih aman. Tapi setelah sebulan pertama, payudaraku mengalami banyak masalah,” jelas Amanda kepada Parentalk.
Produksi ASI Amanda bagus sekali, bahkan melebihi kebutuhan bayinya. Saking ASI-nya melimpah, Si Kecil sering tersedak selagi menyusu. Ia juga hanya mampu menyusu dari satu payudara. Padahal, payudara Amanda penuh setiap satu jam sekali sehingga menjadi bengkak kalau terlambat menyusui atau memompa ASI. Ternyata, Amanda menghadapi banyak masalah akibat ASI melimpah.
Dampak ASI melimpah
Amanda bisa memerah 160-an ml ASI setiap dua jam sekali dengan kondisi perut kosong. Hal itu pun sampai-sampai membuat Amanda takut makan. Keseharian dan waktu tidur malamnya juga terganggu. Pasalnya, sebagian besar waktu Amanda tersita untuk memerah ASI. Kalau tidak segera diperah, payudaranya bisa bengkak dan terasa sakit sekali.
Amanda juga nyaris mengalami mastitis. Ini karena persediaan ASI yang berlebih dapat menyebabkan penyumbatan saluran ASI (plugged ducts) dan milk blisters (bintik-bintik putih di puting susu). Adanya milk blister inilah yang menghalangi ASI keluar dari pori-pori puting.
“(Milk blister) harus ditusuk pakai jarum steril untuk membuka saluran lagi,” terang Amanda saat menjelaskan pengalamannya menjalani terapi tersebut.
Cara mengurangi produksi ASI yang berlebih
Amanda disarankan oleh konselor laktasi untuk berhenti menggunakan breast pump. Selama delapan hari, ia menyusui anaknya secara langsung dan memerah dengan tangan saja.
Berdasarkan pengalamannya, proses memerah menggunakan tangan lebih baik karena dapat mengenai setiap saluran ASI sehingga menekan risiko tersumbat.
“Kalau breast pump, semua bagian (saluran ASI) enggak kena. Jadi, aku sering mengalami banyak sumbatan,” ujar Amanda.
Selain itu, ia membiarkan payudaranya penuh. Tujuannya agar persediaan ASI mengikuti kebutuhan bayi.
“Tapi, jangan ada grejel-grejel. Itu harus dikeluarin dengan diperah,” tambah ibu berusia 29 tahun ini.
Tak hanya melakukan trik di atas, Amanda juga berhenti mengonsumsi suplemen penambah produksi ASI. Hasilnya, kini ia sudah merasa nyaman dan menikmati proses menyusui bayinya yang berusia dua bulan.
Sesuaikan prinsip memerah dua jam sekali
Mengacu pada pengalamannya, Amanda menyarankan para ibu baru untuk meninjau kembali prinsip memerah setiap dua jam sekali. Bagi ibu yang akan kembali bekerja, prinsip tersebut cocok karena ada kebutuhan untuk menyetok ASI. Sementara bagi ibu yang sebagian besar waktunya dihabiskan bersama bayi dan produksi ASI-nya baik, rutinitas memerah dua jam sekali bisa menimbulkan masalah menyusui.
“Menurut saya, pumping dua jam sekali bisa menjadi masalah kalau kita minim pengetahuan tentangnya. Padahal, saya seharusnya bersabar saja karena bayi saya bukan breast pump. Demand-nya harus dari bayi. Tuhan yang merancang mekanismenya,” jelas Amanda.
Nah, kalau Ibu bersama bayi sepanjang hari dengan ASI melimpah, memerahlah ketika bayi sudah kenyang, sementara payudara masih penuh. Tapi, jangan benar-benar dikosongkan untuk menghindari oversupply ASI, ya.
Jika melimpahnya produksi ASI membuat Ibu mengalami mastitis, segera konsultasikan terapi yang perlu dijalani ke dokter. Pada kasus mastitis yang parah, busui mungkin harus mengonsumsi suplemen tertentu atau menjalani operasi kecil.
(Febi/Dok. Shutterstock)