Saya percaya, setiap ibu baru rentan menghadapi mom-shaming. Istilah mom-shaming berarti merendahkan seorang ibu karena pilihan pengasuhannya berbeda dari pilihan-pilihan yang dianut si pengkritik.
Menurut Psikolog Monica Sulistiawati, mom-shaming seperti bullying, namun tujuannya membuat ibu yang menjadi target merasa salah dan buruk, sementara si pelaku benar dan sempurna. Perilaku mom-shaming bisa berupa sindiran, komentar, dan kritik yang sifatnya negatif.
Mom-shaming dapat pula dilakukan secara langsung di hadapan ibu yang dituju dan secara online seperti halnya cyberbullying. Fenomena ini normal terjadi pada kehidupan pengasuhan. Hanya saja, mungkin kebanyakan dari kita tidak pernah tahu aksi tersebut ternyata punya istilah khusus.
Tantangan bagi ibu baru
Menjadi ibu baru tentu banyak tantangannya. Selain harus belajar lebih banyak hal lagi, pengalaman menjadi ibu baru akan membuat kita mau tak mau lebih memperkuat mental.
Akan ada banyak nasihat yang terkadang sampai membuat risih, perdebatan yang lebih intens lagi dengan orang tua atau mertua tentang cucu mereka, juga orang lain yang lebih ‘heboh’ ketimbang kamu ketika menemukan perubahan pada tubuh si kecil. Kamu juga akan merasa sering diawasi dan berpeluang menerima kritikan di depan umum.
“Hey! Kamu kok gendong bayinya gitu, sih. Cepat betulkan!” seru seorang petugas Puskesmas saat saya melintas bersama si bungsu yang masih berusia sebulan.
Yah, sepertinya gendongan kangguru memang belum populer di Puskesmas tempat anak saya diimunisasi. Tapi, saya cuek saja sambil lalu.
Belum lagi komentar nyinyir keluarga terdekat yang menganggap cara merawat anak dan gaya pengasuhan saya aneh. Sempat down karena tekanan sana-sini, tapi akhirnya saya bisa melanjutkan prinsip-prinsip yang telah dipelajari.
Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Saya tidak mau ambil pusing soal komentar-komentar negatif mereka. Kurang lebih senasib? Jangan sedih, Bu! Kamu tidak sendiri menghadapi fenomena mom-shaming ini.
Banyak pihak menjadi pelaku mom-shaming
Berdasarkan survey C.S. Mott Children’s Hospital Universitas Michigan terhadap 475 ibu dengan balita, 37% ibu mengakui ibu atau ayah kandung mereka menjadi pelaku mom-shaming. Pelaku lainnya adalah suami (36%), mertua (31%), teman (14%), dan petugas kesehatan (8%).
Sementara hal-hal yang jadi sasaran empuk pelaku mom-shaming terhadap ibu, yakni sebagian besar seputar disiplin anak (70%), lalu diikuti nutrisi makanan anak, kebiasaan tidur, menyusui versus botol susu, keamanan anak, dan perawatan anak. Fakta lainnya 23% ibu mengaku menghadapi mom-shaming lebih dari tiga sumber!
Mom-shaming dapat merusak kondisi psikologis ibu
Para ibu baru pun harus pintar-pintar mengelola emosi dan pikiran. Pasalnya menurut Monica, mom-shaming dapat merusak kondisi psikologis ibu, terlebih jika sasarannya ibu muda yang belum berpengalaman memiliki anak sebelumnya.
“Di saat masih belajar dan mungkin melakukan trial-error, ibu baru ini malah dicemooh dan diolok. Akibatnya, ia bisa merasa rendah diri. Konsepnya tentang pengasuhan yang dilakukan menjadi negatif. Si ibu menjadi pencemas dan tidak bahagia. Ketika kondisi ini terjadi dan setelah menyalahkan diri sendiri, ia cenderung menyalahkan bayi dan kondisi pernikahannya. Jika sudah memasuki fase ini para ibu korban mom-shaming tidak hanya merusak dirinya, namun juga bonding ibu-anak dan relasinya dengan pasangan,” jelas Monica kepada Parentalk.
Bahkan, bukan hal mustahil jika mom-shaming dapat menyebabkan ibu depresi. Misalnya, lanjut Monica, ibu menjadi mudah tersulut emosinya saat sedang menyusui atau berinteraksi dengan anak, mudah berteriak, mudah memukul, dan sebagainya.
Nah, bila ibu baru menghadapi mom-shaming, ikuti saran dari Psikolog Monica Sulistiawati berikut ini, ya!
Tidak terburu-buru menilai diri sendiri negatif
Masukan dan saran dari orang lain memang baik kita perhatikan, tapi bukan berarti semuanya ditelan begitu saja. Sebagai seorang ibu yang cerdas, kita dapat menyelidiki kebenaran dan kesesuaian komentar tersebut dengan kondisi kita sendiri. Ingat, kondisi setiap ibu dan anak berbeda-beda. Jadi, masukan dari orang lain belum tentu sesuai dengan kondisi yang kita hadapi secara nyata.
Boleh memilih untuk menanggapinya atau tidak
Bila ternyata masukan dari pelaku mom-shaming bertentangan dengan kondisi diri, tentu Ibu boleh mengabaikannya dan itu adalah hakmu. Kalaupun pun Ibu menanggapi, tujuannya bukan untuk mencela balik atau membela diri, melainkan memberikan pengetahuan tambahan bagi pelaku mom-shaming. Dengan begitu, apapun respon selanjutnya dari si pelaku, Ibu tidak perlu merasa sakit hati.
“Informasi tambahan tersebut jika diterima bagus, artinya ibu sudah menambah amal. Jika ditolak juga, ya sudah, artinya orang tersebut yang rugi,” tambah Monica.
Tidak perlu merasa bersalah atau tertekan terhadap komentar negatif orang lain karena Ibu sendiri yang paling tahu kondisi yang dihadapi.
Berdayakan diri dengan ilmu
Seperti pepatah Filsuf Inggris Francis Bacon, “knowledge is power.” Pengetahuan dapat memberdayakan seseorang untuk mencapai keberhasilannya. Dengan aktif menambah wawasan dari sumber-sumber terpercaya seperti buku, seminar kesehatan anak maupun pengasuhan, dan diskusi dengan para ahlinya, ibu baru juga akan lebih mantap dan percaya diri menghadapi mom-shaming di lingkungan sekitar.
Tak ada sekolah untuk menjadi orang tua, bukan? Jadi, teruslah belajar agar bisa memberdayakan diri,ya, Bu!
(Febi/Dok. Monica Sulistiawati & Pixabay)
1 comment