Ada pasangan yang ingin segera punya anak, ada juga yang mau menunda, bahkan ada yang memutuskan untuk childfree alias nggak punya anak. Apakah pilihan itu semua ada yang paling benar?
Menurut Bumin, ya nggak dong, nggak ada yang paling salah dan paling benar. Kita nggak bisa menuntut orang lain untuk memenuhi standar yang kita yakini. Misalnya Ibu A standarnya setelah nikah langsung punya anak, terus ada yang beda dari dia jadi disinisin. Ya nggak bisa gitu sih…
Setiap orang mengambil keputusan pasti karena ada alasan dan pertimbangannya. Sebaiknya sih kita juga bisa menghargai, bagaimanapun yang menjalani hidup kan mereka, kalau ada apa-apa bukan kita juga yang ditanya.
International Business Times, Australian Bureau of Statistics menilai akan lebih banyak pasangan berkeluarga yang memilih untuk nggak punya anak di antara tahun 2023-2029. Alasannya pun beragam, latar belakang masalah keluarga, pertimbangan pengasuhan anak di masa depan, bahkan isu lingkungan.
Seperti yang dialami Tria, perempuan 35 tahun yang belum juga memiliki anak. Dia merasa tekanan sosial semakin berat, lingkungan menuntut dia untuk mempunyai anak, tapi apa daya dirinya tetap belum siap untuk menjadi seorang Ibu.
“Suami sih masih santai. Entah kenapa aku sama sekali nggak siap, jadinya ya udah belum mau punya anak. Alasannya, aku takut aja nanti anak malah nambah masalah dan belum tentu nanti dia besarnya tuh jadi orang yang baik, gitu.”
Keputusan Tria untuk nggak mempunyai anak ditentang habis oleh keluarganya, terutama mertua. Selain itu banyak stigma negatif yang akan didapat perempuan, dianggap kurang subur, nggak menjalani kodratnya, dsb.
Untuk menghadapi komentar orang, Tria pun pernah menangis karena dikira perempuan yang menentang aturan agama dan menolak kodrat sebagai perempuan.
“Itu bener-bener semua orang kayak menghujat, bilang aku nggak tahu kodrat. Tapi tetap nggak mempan, aku benar-benar nggak siap ngurus anak, aku nggak mau ngelakuin hal yang aku nggak siap, apalagi untuk mengurus anak itu kan tanggung jawab yang besar.”
Memutuskan untuk childfree menjadi hak masing-masing pasangan, namun hal ini cukup berat untuk dijalankan oleh perempuan. Berbagai macam tanggapan dan penilaian buruk dilempar ke pihak perempuan.
Perempuan dituntut untuk memenuhi standarnya menjadi seorang ibu dan nggak mendapat dukungan dari sesama perempuan untuk childfree. Meski begitu, masih ada perempuan yang mendukung keputusan childfree menurutnya itu urusan kehidupan masing-masing.
Tami yang sudah mempunyai dua anak, merasa keputusan itu nggak masalah bagi perempuan. Lagi pula mempunya anak itu tanggung jawab besar dan nggak semua orang bisa mampu untuk menjadi orang tua.
“Nggak apa-apa, mau nggak punya anak sementara atau selamanya. It’s not a big deal karena nggak merugikan siapa-siapa selama keputusan itu diambil bersama-sama.”
Psikolog Sosial dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Tri Rejeki Andayani mengatakan, keputusan childfree sebaiknya didiskusikan nggak hanya dengan pasangan aja, tapi juga termasuk orang tua dan mertua.
“Orang tua dari pasangan suami istri itu tentu memiliki harapan pada pernikahan anak-anaknya. Salah satunya harapan untuk memiliki cucu yang meneruskan keturunannya,” jelasnya.
Seandainya keputusan itu sulit diterima, maka akan menjadi tekanan sosial bagi pasangan. Namun bila keputusan childfree diterima oleh keluarga, maka pasangan akan lebih mudah menjalani keputusannya termasuk dalam menghadapi tekanan sosial.
Kalau dari Bumin sih, semuanya keputusan diserahkan lagi pada pasangan dan keluarga. Namun sebelum ‘ketok palu’ terhadap keputusan childfree ada baiknya kita banyak belajar mengenai hal tersebut.
Pelajari apa saja yang menjadi risiko di kemudian hari dan apa keuntungan dari nggak mempunyai anak. Parents bisa banyak membaca buku ataupun berkonsultasi pada dokter kandungan atau psikolog.
Pastikan keputusan yang kita ambil nggak membuat kita menyesal di kemudian hari, pastikan juga bahwa kita benar-benar merasa bahagia menjalani kehidupan pernikahan tanpa memiliki anak.