Penggagas Metode Montessori, Dr. Maria Montessori, berpendapat bahwa sejak lahir hingga berusia enam tahun, anak berada pada masa peka bahasa. Mereka sangat memperhatikan perkataan orang dewasa beserta cara mengucapkannya. Tanpa kita duga, mereka bisa menuturkan bahasa dan logat yang sama. Bagi Montessori, anak balita bilingual tidaklah mustahil.
Bayi dapat membedakan bahasa
Temuan Dr. Maria Montessori pun diamini para pakar lainnya. Menurut penulis Raising a Bilingual Child, Barbara Zurer Pearson, semenjak beberapa hari setelah kelahiran, semua bayi dapat membedakan bahasa yang satu dengan lainnya. Terutama bila bahasa yang diperbandingkan terdengar jauh berbeda seperti Bahasa Arab dan Bahasa Prancis.
“Saat berusia masih sangat muda, umumnya bayi masih sulit membedakan dua bahasa yang mirip. Namun, sejak usia 6 bulan, mereka dapat mulai menyadari perbedaannya,” jelas Barbara seperti dilansir situs BabyCenter.
Namun perlu diketahui, salah satu alasan lingkungan bilingual disarankan, terutama di kawasan multietnis, adalah untuk mempertahankan bahasa ibu dari kedua orang tua.
Risiko anak terlambat bicara
Risiko yang harus siap dihadapi orang tua dengan anak di lingkungan bilingual adalah keterlambatan bicara. Apalagi, bila orang tua tidak konsisten menerapkan One Parent One Language, risiko tersebut makin besar. Misal, Ibu berbicara kepada anaknya dengan mencampuradukkan kosakata Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.
Risiko terlambat bicara pun diakui para pakar, namun sifatnya sementara. Menurut Presiden Layanan Bahasa Bilingual di Amerika Serikat, Bilinguistics, sejumlah penelitian menemukan bahwa anak-anak yang didiagnosis speech delay tidak akan menjadi semakin lambat berbicara dengan tumbuh di lingkungan bilingual.
“Berdasarkan penelitian tersebut, anak-anak dengan speech delay di lingkungan bilingual tetap menyerap bahasa dengan laju yang sama dengan mereka yang dibesarkan dengan satu bahasa saja,” jelas Presiden Bilinguistics Ellen Stubbe Kester.
Cenderung mencampuradukkan kosakata
Risiko lainnya adalah kecenderungan anak untuk mencampuradukkan kosakata dari bahasa bilingual yang diterima. Menurut situs BabyCenter, hal tersebut wajar karena adanya pengaruh salah satu bahasa yang lebih kuat tadi. Dengan begitu, anak yang memiliki kosakata lebih sedikit dari salah satu bahasa akan menarik kata-kata dari bahasa yang lebih ia kuasai.
Namun, para pakar meyakini kecenderungan tersebut akan menghilang seiring berkembangnya kosakata dua bahasa yang dipelajari oleh anak.
Rentan kesulitan mengungkapkan keinginan
Risiko lainnya menurut Psikolog Ratih, anak menjadi kesulitan mengungkapkan isi pikiran maupun keinginannya sehingga rentan tantrum. Bila kebingungan bahasa berkepanjangan, anak rentan kesulitan bergaul karena malu juga kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah.
Meski begitu, bukan berarti orang tua menjadi urung memperkenalkan anak pada bahasa kedua sejak dini. Selain memahami risikonya, orang tua dapat mempelajari sejumlah tips agar anak dapat menyerap bahasa kedua dengan tepat. Selengkapnya, bisa kamu baca di artikel Tips Mengenalkan Bahasa Asing pada Balita.
Referensi: artikel “Raising a bilingual child: The top five myths” pada situs BabyCenter
(Febi/ Dok. Pixabay)
1 comment