Oleh: Fery Farhati, S.Psi., M.S – Parent Educator
‘Puasa itu tidak boleh makan dan minum.’
Konsep itu bagi kebanyakan anak, akan terdengar aneh dan membingungkan. Apalagi selama ini orang tua terbiasa berpesan “Ayo.. makan yang banyak supaya sehat!” atau “Makanannya dihabiskan ya biar kuat!”. Selain membingungkan buat anak, proses mengajarkan berpuasa juga bisa jadi dilema dan tantangan tersendiri bagi orang tua.
Di sisi lain, Puasa Ramadan adalah ibadah tahunan yang istimewa bagi umat muslim. Berbeda dengan ibadah lainnya. Puasa adalah ibadah untuk Allah dan Allah yang akan memberi pahala secara khusus.
Tak mengherankan, orang tua punya perhatian khusus pada anak-anaknya dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadan. Sejak kecil, anak sudah biasa diajarkan berpuasa. Ada yang sejak kelas satu SD, atau di usia tertentu. Hal ini tentu tergantung pilihan setiap orang tua, kapan ingin mulai mengajarkan puasa ke anaknya.
Di tengah banyaknya berkah, bulan Ramadan juga menjadi momen penting untuk mengajarkan kebaikan pada anak.
1. Momen meningkatkan ibadah dan belajar banyak hal, termasuk dari kejadian sederhana
Bulan Ramadan tentu jadi momen meningkatkan kualitas ibadah.Selain berpuasa, kita, orang tua, bisa melatih ibadah lain seperti membaca Al-Qur’an, Shalat Tarawih yang di mata anak kecil mungkin terasa sangat panjang, memperbanyak zikir, bersedekah, dan lainnya.
Dengan memberi contoh, kita sekaligus membiasakan anak untuk meningkatkan kualitas ibadah. Dari sini, anak bisa belajar bahwa dibalik aktivitas ibadah yang terlihat “merepotkan”, terkandung makna yang sangat mendalam.
Di sisi lain, saking istimewanya ibadah di bulan Ramadan, terkadang kita lupa akan kejadian sederhana yang penuh pembelajaran dan pesan moral di luar ritual ibadah.
Sebagai contoh, anak batal puasa dan nilai kejujuran. Ketika anak memohon untuk membatalkan puasa setengah hari, kita perlu memutuskan untuk mengizinkan atau tidak. Seringkali kita fokus pada kuantitas, bahwa puasa yang baik itu puasa sampai azan Magrib. Padahal, saat anak mengaku lapar, hal ini jadi momen mengajarkan kebaikan paling mendasar, yaitu kejujuran.
Saat anak berkata jujur bahwa dia lapar, hal itu jauh lebih baik daripada dia diam-diam makan atau minum. Kejujurannya perlu mendapat apresiasi dari orang tua. Kita pun perlu melihat potret yang lebih luas dari sebuah kejadian tersebut dan bertanya, “Apa yang bisa aku ajarkan ke anak dari kejadian ini?”
Pilihan pertama, kita bisa mendorong anak untuk tetap puasa sampai Magrib kalau anak dirasa mampu. Tentunya tanpa pemaksaan dan tetap memuji kejujurannya. Pilihan kedua, kita bisa mengizinkan anak berbuka jika memang anak belum siap. Lalu dengan penuh cinta dan tulus memuji kejujurannya.
Dengan begitu, dapat terjalin kepercayaan antara orang tua dan anak. Dampak jangka panjangnya, anak akan mendengarkan perkataan orang tua. Komunikasi orang tua dan anak pun bisa lebih baik.
Sebaliknya, bayangkan jika saat anak bilang mereka lapar dan tidak kuat puasa, lalu kita komplain “Masak gitu saja tidak kuat”. Anak bisa merasa tidak dihargai.
Proses ini bisa menjadi teachable moment. Katakan ke anak bahwa kejujuran adalah hal yang sangat penting dalam hidup. Bukan saat berpuasa saja, tapi juga sepanjang waktu dan sepanjang hidup.
2. Momen mengajarkan empati dan syukur
Pada kejadian yang sama, saat anak meminta berbuka sebelum waktunya, kita bisa mengajarkan tentang empati dan rasa syukur. Misal, dengan bercerita bahwa masih ada anak yang kelaparan di tempat lain. Ada anak yang mungkin tidak bisa tidur pulas karena rumah pun tak punya.
Kita juga bisa mengajak anak untuk menghargai orang lain. Bahwa ada orang lain yang berpuasa, jadi saat dia makan dan minum setengah hari, sebaiknya jangan terlihat oleh yang berpuasa. Kalau bisa, latihlah anak untuk bertahan tidak makan dan minum lagi sampai waktu berbuka nanti.
Dari satu kejadian keinginan anak untuk membatalkan puasanya, banyak sekali kesempatan pembelajaran yang bisa kita manfaatkan apapun keputusannya, melanjutkan puasa ataupun batal puasa.
Inilah kehebatan ibadah puasa yang dapat menjadi momen bagi kita untuk :
– Mendidik anak menjadi anak yang sadar dan bertanggung jawab atas tindakannya
– Bersikap jujur dan penuh rasa syukur
– Mampu berempati dan menghargai orang lain
Hal ini bisa terjadi, jika kita tidak hanya fokus pada ritual puasa saja, tapi juga mau melihat kesempatan emas untuk menanamkan nilai kebaikan. Utamanya, momen puasa harus dikembalikan sebagai media untuk mengajarkan hal-hal substansial seperti kejujuran, integritas, kedisiplinan, hingga kepedulian. Perkara anak kuat puasa sampai Magrib atau tidak, hal itu bisa diajarkan secara berkala dan dengan menghargai kemampuan anak yang tentunya berbeda-beda.
Dalam mengajarkan kebaikan di bulan Ramadan, ada juga beberapa hal yang sebaiknya kita hindari, seperti:
Penerapan disiplin yang terlalu keras
Contohnya, kita fokus pada target berpuasa dari dini hari sampai magrib, hingga mengabaikan kesempatan mendidik anak dengan kasih sayang, yang menurut banyak riset, justru lebih efektif.
Membandingkan anak kita dengan anak lain
Mungkin ada anak yang kuat puasa satu hari penuh saat usia delapan tahun, tapi ada juga baru kuat puasa penuh usia sembilan atau sepuluh tahun. Hal tersebut tidak jadi masalah dan tidak perlu dibanding-bandingkan. Orang tualah yang paling mengenal kapan anaknya kuat puasa sehari penuh atau belum.
Fokus pada target-target belaka
Misal, anak harus puasa full, tidak boleh ada yang “bolong” puasanya. Sebaliknya, kita perlu memperhatikan hal-hal yang lebih esensial yaitu proses pembentukan akhlak mulia dan momen untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan.
Bayangkan bila mayoritas orang tua di Indonesia bisa menjadikan Ramadan sebagai momen untuk membentuk karakter anak. Jutaan anak Indonesia dapat menjadi sosok berakhlak mulia dan peduli sesama. Dalam jangka panjang, anak-anak dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang berintegritas.
Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua untuk memanfaatkan Ramadan sebagai momen untuk mengajarkan nilai-nilai utama kehidupan kepada anak-anak. Pelajaran apa yang bisa diajarkan kepada anak-anak tentu bisa berbeda-beda. Setiap orang tua akan menemukan teachable moment-nya sendiri yang mungkin berbeda antara satu dengan lainnya.
Di satu keluarga, mungkin akan menemukan teachable moment tentang kebersamaan. Keluarga lainnya bisa memperoleh nilai lain seperti kejujuran, kepedulian, atau yang lain. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah bagaimana orang tua mengambil kesempatan untuk mendidik anak di bulan Ramadan ini dengan penuh kasih sayang.