Pernah enggak sih, kamu refleks membentak atau mencubit anak padahal tahu bahwa kedua tindakan tersebut salah? Saya sendiri pernah khilaf membentak anak. Rasanya seperti ada yang mengambil alih energi dan mensabotase diri saya saat itu. Menurut Psikolog Asep Haerul Gani, hal itu bisa saja dikarenakan kita memiliki inner child yang terluka.
Inner child adalah keadaan yang kita miliki saat ini baik pikiran maupun perasaan yang akarnya muncul dari masa kanak-kanak. Kita bisa menemukan inner child yang terluka seperti ngambek, kecewa, penuh kemarahan, dan dendam. Begitu juga inner child positif seperti riang, gembira, kreatif, dan bijaksana yang bisa membantu kita mengatasi inner child terluka.
Lantas, bagaimana cara mengatasi inner child yang terluka agar orang tua bisa lebih berdaya ketika marah?
Mengidentifikasi inner child yang terluka
Asep berpendapat, ada beberapa ciri yang mengindikasikan Ayah atau Ibu memiliki masalah dengan inner child yang terluka,
- Kita mengetahui suatu tindakan keliru, namun kita sering kali melakukannya secara otomatis.
- Adanya perilaku orang tua terhadap anak yang mencetus penyesalan setelahnya. Ketika menyesali perbuatan, biasanya orang tua berikrar dalam hati untuk tidak mengulanginya lagi. Namun, di lain waktu orang tua khilaf melakukannya lagi.
Misalnya, seorang ibu memiliki pengalaman dimarahi dan dipukul oleh orang tuanya semasa kanak-kanak ketika ia menjatuhkan gelas hingga pecah. Meski sejak itu ia berikrar tidak akan melakukan hal yang sama pada buah hatinya kelak, adegan serupa malah terjadi. Asep menjelaskan bahwa pengalaman masa lalu itu disebut skema oleh para ahli psikologi.
“Skema di masa lalu ketika dia kanak-kanak itu muncul kembali. Maka, ketika ada adegan gelas jatuh, hal yang lebih dulu terlintas dalam benaknya adalah ibuku memarahi dan memukul aku. Ketika buah hatinya menjatuhkan gelas, pengalaman masa lalunya sepersekian detik memicu si ibu memarahi dan memukul anak secara refleks,” jelas Asep saat menjadi pembicara webinar berjudul How To Deal with Your Innerchild akhir November 2018.
Menurut Asep, meski sudah mengikuti kelas parenting dan memahami secara teori bahwa orang tua tidak boleh memarahi anak, otomatis reaksi yang muncul di benak sang ibu adalah skema yang tertanam dalam benaknya. Kondisi inilah yang mengindikasikan adanya inner child yang terluka.
Identifikasi ragam inner child yang dimiliki
Menurut Asep, ada beberapa tahapan untuk ‘menyembuhkan’ inner child yang terluka. Pertama, tuliskan pengalaman positif maupun negatif yang paling diingat seumur hidup dari usia 0 tahun hingga sekarang.
“Kasih judul-judul singkat. Misalnya, umur sekian saya dicubit bunda. Umur sekian saya dipukul sama tetangga. Umur sekian saya juara kelas. Episode yang teringat dan ekstrem saja. Nanti ada titik-titik tertentu, katakanlah, peristiwa-peristiwa yang tidak nyaman dan sangat menyenangkan. Dengan begitu, kita bisa melihat ragam inner child kita di situ,” jelas Asep yang merupakan pakar inner child.
Dalam keadaan tertentu, misalnya merasa terpuruk, Ayah atau Ibu bisa mengingat-ingat dan memanggil bagian dalam diri yang bijaksana. Maka, panggil inner child tersebut dan ajaklah ia mengobrol mengenai masalah yang dihadapi.
“Mintalah saran seharusnya bagaimana. Suara dalam diri saya sendiri yang akan menuntun saya,” terang Asep.
Maafkan diri sendiri dan orang lain yang menimbulkan luka
Setelah mengidentifikasi inner child terluka yang mempengaruhi perlakuan terhadap anak, orang tua dapat perlahan berusaha memaafkan diri sendiri yang terluka di masa lalu maupun orang lain yang pernah menimbulkan luka.
“Jika Anda seorang Muslim, cobalah perlama sujud saat salat dan berdoa agar luka batin ini disembuhkan. Andaikata kita bisa melakukannya di setiap salat, Insyaallah luka-luka batin itu akan tersembuhkan,” jelas Asep.
Menurut Asep, sebagian besar luka batin disebabkan oleh keengganan untuk memaafkan dan terlalu menuntut diri sendiri.
Pelajari skema pengasuhan positif dari lingkungan sekitar
Hal lain yang mungkin membuat kita kesulitan menahan diri dari membentak anak bisa saja karena belum pernah melihat skema pengasuhan lainnya. Asep menganalogikan otak manusia seperti sirkuit. Semakin suatu adegan diulang-ulang, maka semakin cepat dan otomatis reaksi terkait keluar ketika menghadapi situasi serupa.
“Karena perilaku salah itu yang terdapat di sirkuit otaknya. Berarti, hal yang perlu dilakukan tidak cukup hanya dengan menyelesaikan luka di masa lalu. Hal yang perlu dilakukan olehnya adalah mempelajari skema baru yang lebih memberdayakan. Misalnya, kalau anak menjatuhkan benda, responnya macam-macam. Seperti mengajak untuk mengambilnya, bukan memarahi,” ungkap Asep.
Ia pun menegaskan bahwa membina hubungan komunikasi yang baik dengan anak adalah sebuah skema dan perlu dipelajari. Dengan begitu, ‘menyembuhkan’ inner child’ tidak otomatis memperbaiki cara komunikasi seseorang dengan anaknya.
Jadi, jika pengasuhan negatif telanjur tertanam dalam benak kita, mulailah perhatikan skema pengasuhan positif orang lain.
“Saatnya mencari rekan, sahabat, atau orang tua teman yang mempunyai skema-skema positif di tema-tema pengasuhan saat anaknya berperilaku negatif. (Misal) waktu dulu ibu menghadapi saya yang ngambek dengan ngambek juga. Tapi, ada juga orang tua yang tetap tenang dan membolehkan anaknya ngambek. Ia hanya diam dan memperhatikan dengan senyum sehingga perilakunya lebih tenang,” jelas Asep.
Menurutnya, peluang kita untuk memperbaiki skema pengasuhan akan lebih mudah dibandingkan tidak pernah melihat skema pengasuhan positif sama sekali.
“Guru Ayah dan Bunda bukan hanya sekolah atau para pembicara parenting. Guru kita ada di sekeliling kita,” tutup Asep.
(Febi/Dok. Shutterstock)