Sebagai pasangan suami dan istri – menjadi hal wajar jika dalam perjalanan hubungan tersebut menempuh dan melewati berbagai kerikil masalah. Bahkan, tidak jarang menemui batu masalah yang besar – yang akhirnya membutuhkan usaha yang setimpal untuk menyelesaikannya.
Tapi, itu bagian dari harmonisasi sebuah hubungan, iya kan, Parents?
Parents! Apa kabar hari ini? Semoga semuanya sehat-sehat saja, ya.
Di bagian prolog dan judul di atas, sepertinya sudah terlihat dan terbayang sedikit soal apa bahasan kali ini, ya? Di bahasan kali ini, kita akan sama-sama menyelami bagaimana keseimbangan antara maskulinitas dan feminitas seharusnya bertemu di sebuah hubungan.
Jadi begini, Parents – sebagai salah satu dari 12 hukum universal di bidang spiritualitas, hukum polaritas adalah realita yang tidak bisa dihindarkan lagi. Misalnya, ada gelap dan ada terang, ada baik dan ada kurang baik, serta mudah dan sulit.
Nah, di dalam sebuah hubungan, tentu ada juga hukum polaritas. Kita bisa sebut energi maskulin dan feminin. Tapi, jelas karakteristiknya jauh begitu berbeda. Lebih menariknya, perbedaan ini seharusnya saling mengisi.
Sebelum kita membahas ini lebih lanjut, kita pastikan dulu bahwa maskulin dan feminin di sini adalah sebuah energi, sehingga tidak absolut. Jadi, tidak terkait dengan salah satu gender dan menghindari bias yang berpotensi terjadi, ya.
Seperti Apa Sih Karakteristik Maskulin dan Feminin?
Jessica Warren, seorang life coach dan co-founder dari Komunitas Mind: Unlock yang berbasis di Inggris berpendapat karakteristik maskulin dan feminin mempunyai ciri khas tersendiri.
Seperti energi maskulin, di mana rasa dan sikap melindungi, mengarahkan, stabil, serta penuh dengan kejelasan dan kepastian – tidak laki-laki dan perempuan, energi ini bisa keluar di kondisi-kondisi tertentu.
Sedangkan energi feminin, biasanya muncul di wujud intuitif, mendengarkan suara hati, sensitif, merawat, berserah diri, dan terbuka – energi ini kurang lebih pun sama, bisa keluar di kondisi-kondisi tertentu, atau ada sesuatu memancing energi ini keluar.
Salah satu contoh dari wujud energi maskulin atau feminin yang mudah kita ingat adalah saat proses pendekatan atau PDKT, di mana tim laki-laki, cenderung mengejar dan tim perempuan, cenderung menunggu dan menerima, atau bahkan menolak.
Dua energi ini layaknya kutub magnet yang saling tarik-menarik – di mana ketertarikan tersebut terjadi secara alami. Namun, dalam konteks hubungan antar manusia – tentu ada kondisi-kondisi yang diharapkan dalam keadaan sadar ketika terjadi penerimaan atau penolakan.
Nah, bagaimana jika konteksnya di hubungan suami dan istri?
Sederhananya, ketika seorang suami yang berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan dan sang istri mendukungnya secara penuh – di bagian ini, keseimbangan antara energi maskulin dan feminin kerap terjadi.
Tapi, Apakah Dua Energi Ini Bisa Diproduksi di Dalam Satu Individu?
Jawabannya, jelas bisa.
Dari penjelasan di atas, ada kata ‘di kondisi-kondisi tertentu’ di mana hal ini bisa diartikan bahwa faktor eksternal terkait sebuah individu, sedikit banyaknya akan memengaruhi bagaimana individu tersebut memproduksi dua energi itu.
Maskulin-feminin, bisa sekali diproduksi oleh perempuan. Misalnya, berawal dari rasa dan sikap mendukung dan menerima, tetapi ada kondisi yang berubah, kondisi di mana suaminya sakit dan tidak bisa melakukan aktivitasnya, dan akhirnya si perempuan yang melakukan.
Akhir dari perempuan yang melakukan – bisa diartikan bahwa ada energi maskulin yang terproduksi karena sebuah keadaan. Masif atau tidaknya energi maskulin tersebut, satu hal yang jelas, perempuan atau sang istri itu bisa memproduksinya.
Ini vice versa – di mana laki-laki atau seorang suami, dalam keadaan tertentu, bisa saja mendapati dirinya yang bersikap dan mempunyai rasa terbuka, sensitif, dan energi feminin lainnya. Pertanyaannya, apakah hal ini normal? Jelas. Ini hal normal yang bisa saja terjadi.
Lalu, apakah ini seimbang?
Tony Robbins, life coach dan penulis buku di Amerika Serikat berpendapat bahwa keseimbangan akan terjadi jika pasangan tidak lagi mempunyai ekspektasi melainkan apresiasi.
Ekspektasi bisa saja terjadi karena tidak hanya si perempuan saja, tetapi laki-lakinya pun bisa. Mereka bisa saling berharap energinya sama-sama besar. Maka dari itu, Robbins menyarankan pada pasangan untuk melakukan apresiasi daripada memiliki ekspektasi.
Apresiasi adalah sebuah hal yang bisa menguatkan energi tersebut, baik untuk energi maskulin atau feminin – sehingga, siapapun yang memproduksi energi-energi tersebut, tetap bisa menghasilkan energinya dengan maksimal.
Dari berbagai penjelasan di atas – sudah cukup jelas nih Parents kalau ada faktor internal dan faktor eksternal yang memengaruhi kekuatan energi maskulin atau feminin. Seperti apresiasi terhadap pasangan dan meminimalisir ekspektasi, serta melakukan hal-hal preventif agar kondisi-kondisi di luaran tidak begitu memengaruhi si individu.