Lamanya waktu saya bekerja dan melalui perjalanan kantor ke rumah adalah dua belas jam. Energi dan pikiran pun rasanya sudah terhisap karena seharian bekerja juga menghadapi kemacetan Ibukota. Alhasil, suasana hati malah tidak oke setibanya di rumah.
Tuntutan pekerjaan sebagai jurnalis terkadang mau tak mau saya tetap harus meladeni urusan kantor di rumah. Jiwa ini rasanya tak sepenuhnya berada di samping anak maupun suami. Saya akui juga, ketika sudah terlalu lelah, ada kalanya saya kelepasan ngedumel saat polah Si Kecil atau pasangan tak sesuai harapan. Yah, masa’ mereka malah dapat basian setelah berpisah seharian dengan saya?
Siapkan suasana hati sebelum kembali ke rumah
Ternyata, Ayah dan Ibu yang bekerja perlu untuk recharge energi maupun pikiran sebelum bersua dengan orang tercinta di rumah. Hal itu direkomendasikan pakar-pakar psikologi, salah satunya Steven Stosny, Ph.D.
Stosny menyadari perubahan signifikan dalam menangani pasangan yang bermasalah beberapa dekade terakhir. Menurutnya, sebagian besar perselisihan rumah tangga tak lagi dipicu oleh kebiasaan mengonsumsi alkohol atau perdebatan tentang uang, seks, cara membesarkan anak, maupun hubungan dengan mertua.
“Tampaknya sekarang pemicu awal perselisihan di antara pasangan terjadi pada masa transisi ketika salah satu dari mereka tiba di rumah dari bekerja. Suatu kondisi yang bisa menyebabkan malam yang menyiksa,” jelas Stosny lewat Psychology Today.
Tentu kita pernah mendengar pertengkaran akibat suami atau istri tengah dilanda bad mood sepulangnya bekerja, kan? Stosny pun menilai, masa transisi suami atau istri setibanya di rumah dari bekerja menjadi momen yang ‘berisiko’ bagi keluarga. Tapi, dengan memiliki masa transisi yang baik, Parents dapat menjalin komunikasi secara lebih efektif dan sepenuh hati menghabiskan waktu berkualitas dengan orang-orang terkasih di rumah.
Hal yang membuat bad mood
Psikiater Vania Manipod mengungkapkan, banyak hal yang bisa membuat masa transisi kita begitu menantang.
Kemacetan lalu lintas
Misalnya, kamu merasa terjebak di mobil atau transportasi umum, kendaraan hanya bergerak sedikit saja di jalan, berhadapan dengan pengemudi ugal-ugalan, menyalahkan diri sendiri atau keadaan karena terlambat memenuhi jadwal, dan adanya ancaman kecelakaan berkendara. Situasi-situasi ini dapat dengan mudahnya meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah juga secara otomatis mempengaruhi diri menjadi defensif.
Stres kerja
Contohnya, Ayah atau Ibu memiliki to-do-list yang panjang, mengejar tenggat waktu proyek, lembur sehingga kurang istirahat, berhadapan dengan kolega yang memiliki kepribadian berbeda, atau menghadapi konflik dengan atasan dan administrasi kantor. Berbagai kondisi ini tentu membutuhkan energi dan mental berlebih agar Ayah dan Ibu dapat menanganinya. Alhasil, ketika kita meninggalkan pekerjaan yang belum tuntas dan masalah yang belum terselesaikan, hal-hal tersebut tentu dapat terbawa hingga ke lingkungan rumah.
Tanggung jawab di rumah
“Di dunia yang sempurna, kita mungkin dapat pulang ke rumah dan bersantai tanpa mengkhawatirkan tanggung jawab lainnya setelah melalui hari yang penuh stres. Namun kenyataannya, meninggalkan kantor berarti kita berpindah dari satu set tanggung jawab ke tanggung jawab lainnya. Misalnya, anak-anak atau pasangan yang menuntut perhatian darimu, tugas-tugas rumah tangga yang perlu diselesaikan, makan malam yang harus disiapkan, tagihan yang perlu dibayar, dan sebagainya,” jelas Manipod dalam situsnya, Freud and Fashion.
Sementara menurut Stosny, faktanya, banyak orang yang bermasalah dengan masa transisi ini secara umum.
“Penelitian empiris terhadap subjek ini masih kurang. Tapi, saya berfirasat bahwa gangguan dalam batas antara pekerjaan dan kehidupan rumah mengambil peran kunci. Klien-klien saya seperti tidak meyadari perbedaan antara bersosialisasi di tempat kerja dan di rumah. Karena itulah, mereka tidak memiliki ritual untuk membantu masa transisi tadi,” ungkap Stosny.
(Febi/Dok. Shutterstock)