Parents, gemes banget ya lihat tingkah laku si Kecil yang ada-ada aja. Sebagai orang tua yang tumbuh di era digital, pasti bawaannya pengen upload aja gitu di media sosial. Terus kalau banyak yang kasih komentar dan likes, semakin seneng deh. Tapi Parents harus sangat berhati-hati, takutnya secara nggak sadar kita mengeksploitasi anak di media sosial.
Saking gemesnya, sebagian Parents bikin akun media sosial deh, buat si Kecil. Semakin banyak tingkah lucunya, makin banyak netizen yang suka, followers jadi makin banyak. Syukur-syukur kalau dilirik sama brand buat endorse, masih kecil udah bisa menghasilkan.
Eitsss, tapi ntar dulu Parents, justru kita harus sangat cermat di media sosial. Apalagi kalau upload tentang kegiatan si Kecil, ditambah ada maksud untuk mendapatkan keuntungan. Lalu memaksa si Kecil untuk bikin konten endorsement, itu bisa termasuk ke dalam eksploitasi anak di media sosial, lho.
Ya sebenarnya sih, sah-sah aja yah kalau orang tua mau posting foto anak dan sekalian endorse. Asalkan nih kita nggak memaksa anak buat memenuhi ‘tugas’ endorsement. Soalnya kalau anak dipaksa terus begitu, tumbuh kembangnya bisa terganggu. Di usianya yang masih mungil, masa udah banyak banget tuntutan kerjaan. Sedih…. 🙁
Memang, kalau lihat tarif anak-anak kid influencer alias si Kecil yang hits di medsos, itu bisa mulai dari Rp 500 ribu sampai puluhan juta. Memang lumayan ya, buat cicil tabungan pendidikan atau gaya hidup.
Bumin sempet ngobrol nih sama psikolog, Alexa Adeline, sebenarnya anak-anak belum paham banget tentang mana yang baik, mana yang nggak. Cuma kalau udah dari kecil terbiasa dilihat banyak orang atau publik, mungkin nantinya dia merasa, kalau perhatian publik perlu diterima dalam sehari-hari.
Jadi kalau nggak diajarin batasan-batasan dalam media sosial, kelak akan susah buat ngebedain mana yang privasi mana yang bukan. Perlu banget buat diingetin kalau perhatian dari likes atau followers itu nggak menentukan siapa jati diri dia.
Dalam hal ini, orang tua memiliki peran yang sangat penting. Jangan sampai kita secara nggak sadar, udah memaksakan anak untuk bikin konten demi keuntungan. Hak-hak si Kecil jadi ikut hilang deh, seperti hak istirahat, pendidikan yang layak, lalu keselamatan dan kesusilaan.
Kita pernah dong ya, lihat konten yang nampilin anaknya lagi mandi, lagi nangis, marah, atau lainnya. Mungkin momen itu dianggap lucu, tapi terkadang itu dilakukan demi konten, demi dapat perhatian, dapat keuntungan.
Kalau Bumin pribadi, Bumin sih akan mikir dengan menukar posisi gitu, lho.
“Kalau aku lagi marah atau nangis. Apa aku mau banyak orang yang melihat? Pastinya nggak mau sih, karena malu. Apalagi kalau publik ngeliat aku mandi, sumpah nggak banget.”
Jadi begitu yaa Parents. Kita bisa bebas posting apa aja, tentang si Kecil, karena dia belum bisa protes. Tapi kalau dia sudah berpendapat coba diajak bicara dulu. Mungkin juga anak akan bilang, “Ibu jangan post foto aku yang ini dong, muka aku jelek abis nangis, malu ih. / Ibu, post foto aku yang sama boneka beruang aja, akunya lucu hehe.”
Nggak semua konten itu eksploitasi anak
Setelah tadi cerita soal konten media sosial dan hak anak, sebenarnya nggak semua konten endorsement dari kid influencer itu memicu eksploitasi. Kalau ternyata anaknya senang tampil, ada bakat untuk jadi performer misalnya, itu nggak apa-apa, lho.
Cuma, ada yang perlu diingat. Si Kecil yang mulai menghasilkan keuntungan karena bakat dan hobinya itu dilindungi oleh Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 115 tahun 2004. Peraturan ini untuk melindungi anak-anak yang melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat.
Jadi perlu dicatat nih Parents, boleh kok, si Kecil jadi kid influencer, selebgram, atau nama lainnya. Tapi orang tua harus bertanggung jawab untuk tetap memenuhi apa yang menjadi hak si Kecil. Ingat lagi, apa saja tanggung jawab utama Parents, keberhargaan diri nggak selamanya soal media sosial.
Ada kok, tanda-tanda si Kecil mulai mendapatkan eksploitasi di media sosial. Penjelasan ini Bumin dapat dari Mbak Alexa Adeline.
- Anak mulai kehilangan kesempatan untuk beristirahat dan pendidikan yang layak. Ini karena terlalu banyak pekerjaan, seakan orang tua atau anak lebih mengutamakan media sosial dibanding apapun.
- Anak terlihat mulai cemas tentang bagaimana mereka mendapat respons masyarakat tentang foto atau video yang mereka tampilkan.
Orang tua bisa dipenjara karena eksploitasi anak
Udah tahu lah ya, konten prank yang sempet rame. Tujuannya buat ngerjain orang terus mendapat atensi publik dan mendapat keuntungan, yang terkadang padahal itu nggak menghibur sama sekali.
Salah satunya kasus yang menimpa Youtuber di Mesir, mereka sepasang suami istri, Ahmad Hassan dan Zeinab. Melansir Republika, mereka ditangkap atas tuduhan eksploitasi anak di akun Youtube mereka yang punya 6 juta subscriber.
Jadi ceritanya, ada dua video yang mereka bikin buat nge-prank anaknya yang berumur satu tahun. Dari mulai menakuti anak sampai nangis keras, hingga cuekin si Kecil yang lagi minta perhatian sampai nangis. Sehingga perbuatan itu dikecam netizen karena dianggap eksploitasi anak di media sosial.
Apa yang mereka lakukan terhadap anaknya, bisa membuat mereka terjerumus penjara seumur hidup dan membayar pajak hingga Rp 470 juta.
Berita tadi, perlu dijadikan contoh untuk kita lebih berhati-hati ya, Parents. Ingat, kita boleh bikin si Kecil konten di media sosial tapi jangan sampai membuatnya kecewa, sedih, dan kehilangan haknya.
Sampai sini Parents udah paham ya, nggak ada salahnya menampilkan si Kecil atau bahkan menjadikannya kid influencer. Asalkan, nggak mengganggu hak anak. Orang tua dan anak tetap menjalani peran utamanya, saling menjalani tanggung jawab dan kebutuhannya terpenuhi.
Hidup di dunia maya nggak sepenuhnya mengisi jiwa. Tapi fokus dengan apa yang ada di dunia nyata, bikin hidup terasa lebih berwarna.