Khitan perempuan masih menjadi kontroversi di masyarakat Indonesia. Bahkan, Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI sampai beberapa kali membuat peraturan tentang khitan perempuan. Lantas, apa yang membuatnya menuai kontroversi? Parentalk pun mendiskusikan isu tersebut dengan dr. Arifianto, SpA. Berikut beberapa fakta seputar khitan pada anak perempuan.
Pemerintah beberapa kali merevisi aturan
Awalnya Kemenkes RI melarang khitan perempuan bagi tenaga kesehatan melalui Surat Direktur Bina Kesehatan Masyarakat pada 2006. Namun, aturan tersebut kemudian dicabut karena mendapatkan protes dari sejumlah kalangan termasuk Majelis Ulama Indonesia.
Lalu, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Tahun 2010 yang mengatur tentang praktik sunat perempuan terbit. Permenkes ini mengizinkan tenaga medis seperti dokter dan bidan untuk melakukan sunat perempuan juga mengatur rinci tentang metodenya. Namun, aturan Kemenkes RI lagi-lagi diprotes. Kali ini, protes datang dari kalangan aktivis dan perempuan.
Empat tahun kemudian, Kemenkes mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 6 Tahun 2014 untuk mencabut Permenkes sebelumnya. Permenkes tersebut pun menyatakan, “Sunat perempuan hingga saat ini bukan merupakan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan.”
Praktik khitan perempuan berbeda-beda
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan dengan tegas bahwa mutilasi alat kelamin perempuan atau Female Genital Cutting/Mutilation (FGM) salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). WHO pun meminta masyarakat dunia berkomitmen secara penuh untuk mengakhiri praktik khitan perempuan.
Namun, Dokter Spesialis Anak Arifianto mengingatkan, WHO bukan menggunakan istilah khitan perempuan, melainkan mutilasi alat kelamin perempuan.
“Ini karena praktik khitan perempuan berbeda-beda di berbagai benua. Misalnya, bagian kelamin yang dipotong berbeda. Jadi, tidak ada standar yang sama. (Hal itu) tidak seperti khitan pada bayi laki-laki yang memiliki prosedur jelas dari dulu sampai sekarang seperti bagian apa yang dibuang,” jelas dokter yang akrab disapa Apin ini.
Lalu, apa saja yang dikategorikan mutilasi alat kelamin perempuan? Ada beberapa tipe FGM sesuai klasifikasi WHO yang diterjemahkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
- Melukai, menusuk, atau menggores klitoris atau prepusium.
- Membuang sebagian atau seluruh klitoris.
- Membuang seluruh klitoris dan sebagian atau seluruh labia minor.
- Memotong seluruh klitoris dan seluruh labia minor maupun mayor dan menyisakan saluran kemih saja.
Menurut Dokter Apin, penjelasan teks dari hadis tentang khitan perempuan bersifat umum. Namun, berdasarkan banyak pendapat paling kuat terkait teknisnya, khitan pada perempuan adalah membuang kulit kulup dari klitorisnya, bukan membuang klitorisnya sendiri atau sampai membuang bagian yang lebih besar.
Ia sendiri mengakui belum pernah menemukan khitan perempuan yang sifatnya mutilasi genital di Indonesia.
“Kalau di Indonesia, praktik yang saya pernah lihat tidak menyentuh bagian itu (klitoris) sebenarnya. Jadi, ada bagian lain. Misal, ada bagian labia minora yang ditoreh, dilukai cuma sedikit. Setahu saya, alasan WHO sampai mengeluarkan larangan khitan adalah di Afrika, mereka mungkin membuang klitorisnya. Padahal kan secara teknis yang diakui, setahu saya, oleh pendapat ilmiah literatur keagamaan pun bukan itu yang dibuang,” ungkap dr. Apin.
Khitan perempuan dari sudut pandang agama
Menurut dr. Apin, sebenarnya khitan perempuan dilakukan karena merupakan bagian dari ajaran agama Islam.
“Kalau dalam fikih atau ilmu tentang hukum Islam, ada yang mengatakan khitan laki-laki dari bayi, anak, sampai orang dewasa yang baru disunat itu sunah dan ada pula yang mengatakan wajib. Sedangkan kalau khitan untuk perempuan, ada yang yang mengatakannya mubah (boleh dilakukan, tetapi boleh juga tidak) dan ada yang mengatakannya sunah. Jadi, artinya mereka yang menjalankan praktik khitan perempuan itu dasarnya adalah menjalankan syariat Islam, ajaran agama itu sunah dari Rasulullah,” terang dr. Apin.
Khitan perempuan dari sudut pandang medis
Menurut situs IDAI, WHO maupun Persatuan Dokter Obstetri dan Ginekologi Dunia menolak seluruh jenis FGM. Kedua instansi tadi menyebut tindakan mutilasi alat kelamin perempuan sebagai “praktik medis tidak diperlukan yang memiliki risiko komplikasi serius dan mengancam nyawa.”
Persatuan Dokter Anak Amerika (AAP) juga melarang seluruh anggotanya melakukan tindakan ini untuk alasan di luar medis. FGM dianggap mengancam nyawa karena terdapat banyak pembuluh darah di daerah kemaluan perempuan sehingga memiliki risiko perdarahan yang hebat.
“Kalau manfaat khitan bagi laki-laki banyak. Misal, bisa mencegah kanker penis, infeksi saluran kencing, dan lain-lain. Kalau perempuan, penelitiannya saya belum pernah baca atau mungkin ada, tapi sangat sedikit. Kalau teks hadisnya itu kan perempuan dikhitan untuk mengurangi gairah seksual. Tapi, penelitiannya pun apakah benar, setahu saya juga belum ada,” jelas dr. Apin.
Selain itu, dr. Apin mengungkapkan, teknik khitan perempuan tidak masuk dalam kurikulum pendidikan kedokteran.
“Kalau sunat laki-laki kan ada teknis kompetensi dari dokter bedah urologi dan dokter bedah anak. Bahkan, dokter umum bisa mengerjakannya karena mereka diajari. Tapi, kalau khitan perempuan, setahu saya, itu tidak masuk dalam kurikulum pendidikan kedokteran, jadi tidak ada teknisnya,” jelas dr. Apin.
Dokter Apin pun menyimpulkan, hal-hal yang membuat khitan perempuan tidak dianjurkan secara medis, antara lain
- ketiadaan standar prosedur,
- ketidakpahaman sebagian tenaga kesehatan mengenai teknis sebenarnya, dan
- belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan manfaat yang jelas dari khitan perempuan.
Risiko
Dokter Apin mengingatkan, tindakan apapun, termasuk sirkumsisi laki-laki maupun khitan perempuan, yang memaparkan darah dengan dunia luar memiliki risiko infeksi.
Sementara WHO menegaskan, mutilasi alat kelamin dapat membahayakan perempuan karena mengangkat dan merusak jaringan genital yang normal dan sehat. Dengan begitu, fungsi tubuh alamiah perempuan dapat terganggu. Semakin parah prosedur khitan, semakin besar pula risiko yang ditimbulkan.
Menurut WHO, beberapa komplikasi yang dapat muncul dari khitan perempuan adalah sebagai berikut.
- Rasa nyeri yang parah
- Pendarahan yang berlebihan
- Demam
- Infeksi, misalnya tetanus
- Pembengkakan jaringan genital
- Masalah buang air kecil
- Masalah penyembuhan luka
- Syok
Sementara, dampak jangka panjangnya:
- masalah buang air kecil, misalnya infeksi saluran kemih,
- masalah di area kewanitaan (keputihan, gatal, dan infeksi bakteri),
- gangguan menstruasi (nyeri mentsruasi, haid tidak lancar),
- jaringan parut dan keloid,
- masalah seksual (rasa nyeri berhubungan seksual dan gairah seksual menurun), juga
- meningkatnya risiko komplikasi persalinan (kesulitan bersalin, pendarahan berlebih, persalinan caesar, dan sebagainya)
Keputusan kembali pada orang tua dan tenaga kesehatan
Menurut dr. Apin, keputusan orang tua untuk mengkhitan anak perempuannya dilandasi alasan agama. Hal yang juga perlu dipahami orang tua adalah teknik yang digunakan hingga kini tidak terstandar baku. Selain itu, belum ada penelitian khitan perempuan yang bisa menunjukkan manfaat medisnya sama dengan jumlah penelitian sunat pada laki-laki.
Ketika ada orang tua yang meminta khitan bayi perempuan, kesanggupan mengerjakannya pun dikembalikan pada tenaga kesehatan bersangkutan.
Tak kalah penting, proses khitan haruslah steril. Karena itulah, orang tua harus cermat memilih lokasi dan tenaga kesehatan yang akan melakukan khitan pada anak perempuan mereka.
“Secara umum, tindakan apapun apalagi yang akan mengeluarkan darah, itu pasti tekniknya harus sebersih mungkin,” tutup dr. Apin.
Referensi lain:
- Artikel “Fakta Medis Sunat Perempuan dalam Kelindan Tradisi dan Agama” pada Kumparan News
- “Sunat Perempuan (Masih) Membelenggu Perempuan, Mana Komitmen Pemerintah?” pada Persatuan Keluarga Berencana Indonesia
(Febi/Dok. Shutterstock)