“Ck…”
Tiba-tiba si kakak berdecak ketika ia terlihat tidak senang. Uh-oh, ia mencontoh siapa, ya? Siapa lagi kalau bukan ibunya. Momen itulah yang membuat saya sadar bahwa anak adalah peniru ulung tindak-tanduk orang tuanya tak terkecuali saat sedang kesal.
Ketika orang tua mengeluh, mengomel, berteriak, atau merusak benda di depan anak setiap kali marah, mungkin energi negatif itu sedikit ‘tersalurkan.’ Tapi ingat, ada akibat yang mengikutinya setelah hal itu terjadi. Dampak marah berlebihan ke anak tak hanya dialami sang buah hati, tapi juga orang tua.
Semoga berbagai dampak di bawah ini dapat menjadi alarm bagi kita saat mulai dikuasai amarah ya, Ayah dan Ibu.
Pelampiasan amarah biasanya berujung penyesalan
Mengutip tulisan Psikolog Okina Fitriani dalam The Secret of Enlightening Parenting, “Emosi dan logika layaknya timbangan neraca, ketika emosi naik, logika turun. Demikian pula sebaliknya.” Karena itulah, tindakan dan keputusan yang kita buat saat diri sedang sangat emosional bisa menjadi tindakan yang paling disesali.
Inilah yang kerap saya alami ketika khilaf membentak anak, terutama si kakak yang sudah threenager alias berusia tiga tahun. Setelah sadar dengan tindakan tersebut, saya biasanya menyesal dan merasa gagal menjadi ibu yang baik.
Saya juga pernah melihat tulisan seorang ibu yang mengungkapkan betapa menyesalnya ia setelah membentak dan mencubit anaknya ketika marah. Saat sang buah hati terlelap, ia hanya bisa meminta maaf berulang kali sembari menangis.
Mencontohkan perilaku yang buruk
Penulis What To Expect The Second Year, Heidi Murkoff berpendapat, ketika amarah memuncak, kita kehilangan kesabaran maupun sudut pandang. Padahal, keduanya merupakan hal yang kita butuhkan dalam mendisiplinkan anak balita. Bukannya memberikan teladan yang baik, kita justru hilang kendali di depan anak.
Berteriak atau memukul saat sedang marah mungkin dapat melepaskan emosi dalam sekejap, tapi ingatlah kondisi tersebut tidak mencontohkan perilaku baik sebagai tujuan pengasuhan jangka panjang. Sebaliknya, orang tua justru membesarkan anak yang suka berteriak dan memukul temannya.
Banyak sekali studi yang menunjukkan bahwa anak-anak yang dipukul cenderung menggunakan kekuatan fisik pula terhadap teman-teman dan anaknya kelak.
Mengikis harga diri anak yang tengah berkembang
Penelitian associate professor bidang psikiatri di Harvard Medical School, Martin Techer, membuktikan bahwa jutaan neuron yang belum tersambung terdapat dalam otak bayi. Suara keras serta perlakuan kasar dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf yang setara dengan anak yang mendapatkan siksaan fisik dan pelecehan seksual, lho. Temuan ini Psikolog Okina ungkapkan lewat bukunya.
Selain itu, Murkoff mengungkapkan, marah yang tidak dikendalikan dapat menakuti atau merendahkan Si Kecil, bahkan melukai persepsinya terhadap diri sendiri (sense of self) yang sedang berkembang.
Anak mungkin menahan diri untuk mengulangi perbuatan yang kurang baik ketika ia menerima kekerasan fisik. Namun, hal itu dilandaskan perasaan takut saja, bukan karena pengendalian diri yang berkembang.
(Febi/Dok. Shutterstock)