Dulu, saya membayangkan bakal menyusui sambil menatap bayi saya, menyanyikan lagu, membaca doa atau becanda dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh kami. Faktanya, kadang saya malah memanfaatkan momen menyusui sambil main handphone, membalas pesan di Whatsapp, buka email atau iseng melihat media sosial. Dalam istilah asingnya, aktivitas ini disebut BREXTING, kombinasi dari Breastfeeding dan Texting.
Texting yang dimaksud bukan hanya mengetik pesan lewat handphone atau gadget lain ya Bu. Tapi mencakup seluruh aktivitas yang memanfaatkan perangkat teknologi tersebut. Brexting memang jadi guilty pleasure buat seorang ibu. Karena bisa menyenangkan tapi punya dampak tersendiri buat ibu dan bayi.
Brexting Kurangi Bonding Ibu dan Bayi
Menurut konselor laktasi dr. Ratih Ayu Wulandari IBCLC, menyusui seharusnya jadi kesempatan kita untuk bonding atau menjalin ikatan batin dengan si kecil. Caranya dengan mengajak dia bicara, kontak mata atau sentuhan lembut ke tubuhnya.
“Menyusui itu memang kadang terasa lama banget. Tapi kalau sambil browsing jadi enggak bisa bonding dan interaksi ibu dan bayi jelas berkurang. Paling bagus ya ibunya harus benar-benar menikmati momen menyusui,” jelas dokter Ratih pada Parentalk.
Dampak lain dari brexting disebutkan oleh Dr. Kateyune Kaeni, psikolog yang mendalami maternal mental health dari Pomona Valley Medical Center, Amerika Serikat. Menurutnya, brexting membuat si ibu tidak dapat merespon pesan yang disampaikan oleh bayinya.
Padahal lewat gerak tubuh bayi, kita dapat mengamati apakah bayi masih lapar, sudah kenyang atau komunikasi lainnya. Kalau ibu sering melakukan brexting, lama-kelamaan bayi bisa merasa cemas hingga tantrum akibat sering terabaikan oleh ibunya.
Ancaman Radiasi dari Kebiasaan Brexting
Menyusui sambil bermain telepon genggam juga membuat si kecil terancam paparan radiasi dari handphone. Dampak radiasi tentunya tidak baik bagi perkembangan otak dan sistem saraf bayi yang sedang dibangun.
Menurut Dr. Leonardo Trasande dari NYU School of Medicine, radiasi dari gadget menyebabkan komunikasi antara sel saraf satu dengan lainnya tidak berjalan baik. Efeknya juga menimbulkan gangguan pengiriman sinyal antar sel saraf. Dalam jangka panjang, pembacaan sinyal listrik di otak akan terganggu dan tentu berpengaruh terhadap kehidupan anak ke depannya.
Padahal di usia 0-2 tahun, otak anak-anak berkembang dengan maksimal hingga 80% dari ukuran dewasa. Jadi perlu banyak distimulasi dan dihindarkan dari faktor yang beresiko mengganggu perkembangannya, seperti radiasi handphone.
Sisihkan Gadget, Nikmati Waktu Bareng Si Kecil
Dokter Ratih mengakui kalau saat ini setiap orang sulit terlepas dari gadgetnya. Apalagi kalau si ibu bekerja atau harus menggunakan handphone di saat penting. Menyusui sambil memegang gadget pun jadi tidak terhindarkan.
“Sebenarnya fleksibel, enggak harus saklek juga untuk lepas dari handphone apalagi kalau ibunya harus multitasking. Tapi usahakan untuk tetap bonding,” tegas dokter Ratih. “Kalaupun merasa ngantuk saat menyusui, jangan beralih ke handphone untuk tetap melek. Lebih baik simpan handphone, terus tidur sebentar sama bayi jadi bisa sekalian bonding,” tambahnya.
Konselor laktasi ini juga menyarankan agar tiap ibu memahami kode dari bayinya. Ketika ibu melakukan brexting, kemudian si kecil merengek, itu tandanya dia mulai butuh perhatian. Saat seperti itu, jadikan bayi kita sebagai fokus yang utama.
Solusi lain terkait brexting diberikan oleh Jodilyn Ewen dari Essential Birth and Family Center di Seattle, Amerika Serikat. Saat bayi kita terjaga untuk menyusu, sempatkan setidaknya 3-5 menit untuk melihat mata si kecil dan mengajaknya ngobrol tentang berbagai hal.
Kalau si kecil mulai terlelap, sampaikan kalau kamu akan menyusuinya sambil mengerjakan hal lain (yang melibatkan gadget). Sama seperti orang dewasa, bayi akan mengerti kok kalau kita berkomunikasi secara baik dengan mereka.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa menyusui tidak hanya sekedar memberi susu. Tapi juga cara kita mencurahkan rasa sayang pada si kecil. Tentu Ibu tidak ingin melewatkan momen berharga ini bukan?
(dyah/dok: Pixabay)