Seiring perkembangan zaman, para orang tua memiliki keseharian yang cepat dan sibuk. Rutinitas harian kita padat dengan berbagai urusan entah itu bekerja atau menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga. Anak-anak pun ikut ‘sibuk’ karena terlibat dalam sejumlah aktivitas di luar rumah. Belum lagi, mereka sering kali harus menghadapi kemacetan selama perjalanan. Ternyata kondisi tersebut dapat membuat anak zaman sekarang rentan stres, lho.
Temuan itu menggugah saya ketika menghadiri diskusi yang digelar Indonesia Waldorf Steiner Association, komunitas metode pendidikan Waldorf, pada Agustus 2018. Diskusi bertajuk “Rhythm As A Gift for The Child and Family” itu menghadirkan Edith Van Der Meer, yakni mentor komunitas Waldorf di Tanah Air yang sudah belasan tahun mengajar anak-anak usia prasekolah hingga jenjang akhir sekolah dasar.
Terlalu banyak stimulasi membuat anak rentan stres
Dalam diskusi ini, Edith banyak mengulas literatur yang menjadi acuannya, Simplicity Parenting karya Kim John Payne, yakni seorang psikolog yang bertugas di kamp pengungsian Vietnam. Payne menangani anak-anak yang mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) karena peperangan. PTSD adalah gangguan yang terjadi pada orang-orang yang mengalami peristiwa berbahaya atau menakutkan.
Mengacu pada buku Payne, Edith mengungkapkan bahwa anak-anak di zaman sekarang rentan mengalami stres, namun bukan karena PTSD, melainkan akibat reaksi stres yang terakumulasi. Anak stres karena menerima stimulasi yang terlalu banyak, terlalu dini, dan terlalu canggih. Mereka benar-benar kewalahan (overwhelmed) dengan kehidupan yang begitu cepat dan sibuk karena:
- terlalu banyak aktivitas terorganisir yang dirancang orang tua,
- terlalu banyak dihadapkan pada pilihan,
- orang tua bicara terlalu banyak, dan
- terlalu banyak menerima informasi yang sebenarnya ditujukan untuk orang dewasa,
Anak terlalu banyak mendengar informasi orang dewasa
Sebagai orang tua, kita seharusnya menciptakan persepsi yang baik tentang dunia pada buah hati. Namun, secara tak sengaja, anak-anak sering mendengar informasi orang dewasa yang menimbulkan ketakutan dan kegelisahan pada dirinya. Misal, tayangan televisi yang menampilkan berita buruk (teror, bencana, dan sebagainya) juga pembicaraan ‘berat’ antarorang dewasa yang tidak sengaja terdengar oleh anak saat sedang bersamanya. Sebut saja, isu pemanasan global.
Selain itu, anak menerima informasi yang berlebihan ketika orang dewasa menjelaskan suatu hal tidak sesuai usianya. Sebagai contoh, ketika anak bertanya asal-muasal bayi, orang tua sebaiknya menanyakan balik ketimbang menjelaskannya secara detil. Misalkan dengan bertanya, “Menurutmu, bayi datangnya dari mana?” Edith merasa, anak-anak belum perlu mengetahui jawaban atas semua hal. Terlebih, ketika menginjak usia tujuh tahun, anak sudah mulai dapat berpikir.
Anak dihadapkan pada terlalu banyak pilihan
Dalam keseharian, anak pasti berhadapan dengan hal-hal yang mengharuskannya untuk memilih. Contohnya, ketika ia hendak memilih baju yang akan dikenakan. Sebaiknya, orang dewasa menyediakan dua pilihan saja ketimbang menyuruhnya memilih sendiri dari satu lemari.
Hal ini mungkin terdengar sepele, namun dapat berdampak besar bagi kesehatan mental anak bila ia harus menghadapi terlalu banyak pilihan terus-menerus.
Anak dan soul fever
Menurut Payne, anak-anak zaman sekarang rentan mengalami soul fever alias ‘demam’ psikologis. Kondisi ini misalnya terlihat dari kasus-kasus gangguan perilaku sepeti attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD) pada anak. Yaitu, gangguan yang ditandai dengan perilaku impulsif, hiperaktif dan kurangnya perhatian. Untuk ‘mengobati’ soul fever, kita perlu menyingkirkan hal-hal yang membuat anak kewalahan. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut.
- Kurangi paparan terhadap terlalu banyak mainan dan aroma yang terlalu beragam pada anak. Menurut Edith, hal itu dapat justru dapat membuatnya kewalahan.
- Hindari paparan televisi dan musik yang menyala sepanjang hari.
- Menyanyi, membacakan cerita, dan berbicaralah kepada Si Kecil.
- Lebih sering ajak anak bersentuhan dengan alam.
Kurangi paparan terhadap terlalu banyak mainan
Sediakan 15 mainan saja dalam rak dan atur isinya ketika anak sedang tak melihat. Pertahankan setidaknya 1-3 mainan favoritnya. Selain itu, perbaharui pilihan mainan di rak setiap bulan. Bagaimana dengan mainan-mainan lainnya? Menurut Edith, kita dapat menaruhnya dalam boks khusus yang tersimpan di lemari. Selain itu, berdasarkan penelitian, terlalu banyak mainan justru dapat membuat anak kewalahan. Prinsip ini juga berlaku untuk penempatan buku-buku.
Anak-anak tetap bisa bermain meski tidak memiliki mainan, kok. Lihat saja anak-anak di zona perang yang tetap bisa bermain meski tak punya apa-apa lagi.
Bahkan, Edith berpendapat, biarkan saja anak merasa bosan. Ini karena kebosanan dapat menelurkan ide-ide yang mencerahkan juga memberikan waktu bagi anak untuk menemukan dan menumbuhkan kepribadiannya. Kebosanan justru awal dari kreativitas. Kondisi itu pun tak akan berlangsung lama karena beberapa menit kemudian, anak akan mencari kegiatan untuk menghilangkan rasa bosannya.
Menurut Edith, orang tua tidak perlu menghibur anak setiap waktu. Layaknya orang tua, anak perlu melakukan ‘kesibukannya’ sendiri.
Lebih sering ajak anak bersentuhan dengan alam
Edith berpendapat, anak-anak lebih membutuhkannya ketimbang mainan. Ini karena alam tak hanya menstimulasi matanya, tapi juga pancaindra lainnya.
Merangkai cerita sendiri mengenai masa kecil
Gunakan boneka tangan atau gestur diiringi instrumen musik dan nyanyian secara langsung. Sesi bercerita dengan suasana tersebut lebih baik ketimbang membacakan buku, lho.
Semoga ragam tips dari Edith dapat membuat masa kanak-kanak Si Kecil lebih berwarna dan terhindari dari stres, ya!
(Febi/Dok. Shutterstock)