Anak depresi? Rasanya agak asing didengar ya, Parents. Bisa jadi selama ini kita beranggapan ‘beban hidup’ Si Kecil belum sama seperti orang dewasa. Jadi kita beranggapan bahwa depresi itu nggak bisa terjadi pada anak-anak.
Dilansir Halodoc, beberapa penelitian menunjukkan depresi merupakan hal yang wajar dan bisa terjadi pada siapa saja, dan bukan sesuatu yang aneh apalagi memalukan. Sebanyak 80 persen orang hidup dari perasaan tertekan, penyebabnya macam-macam ada yang karena merasa kesepian atau masalah lainnya.
Depresi pada anak dan remaja bisa menjadi masalah serius lho Parents, karena ini dapat berlanjut dan terbawa hingga dewasa. Parents tentunya nggak mau Si Kecil tumbuh dengan kondisi mental yang kurang baik dan menjadi orang dewasa yang bermasalah.
Kesulitannya, depresi nggak bisa kita lihat dengan kasat mata dan nggak mudah untuk mendeteksinya, apalagi kalau ini sampai dialami Si Kecil. Oleh karena itu agar Parents bisa lebih mengenal kondisi anak depresi dan bagaimana menghadapinya, Bumin bertanya pada Psikolog Anak dan Remaja, Reti Oktiana, M.Psi.
Hai Mbak Reti, Bumin mau tanya-tanya tentang depresi pada anak. Sebenarnya mulai kapan anak bisa mengalami hal tersebut?
Hai Bumin! Baik, saya jelaskan berdasarkan riset, ya. Hasil penelitian dari Institute of Neuroscience (Newcastle University) menyebutkan bahwa kasus Early-Onset Depression (EOD) termuda muncul pada anak usia 3 tahun. Sesuai dengan tahap perkembangannya, anak usia 3 tahun sudah dapat bersosialisasi, menunjukkan berbagai rentang emosi, dan sudah menunjukkan perubahan mood. Oleh sebab itu, gejala depresi sudah dapat diobservasi. Tetapi secara umum, EOD dapat terjadi pada anak usia 3-13 tahun.
Pada umumnya hal apa yang sering membuat anak mudah depresi?
Ada banyak hal ya, yang membuat Si Kecil depresi. Menurut Kinyanda, et al. (2013) dan hal-hal yang dapat meningkatkan risiko depresi pada anak antara lain:
- Dinamika hubungan dalam keluarga yang tidak sehat. Misalnya, tingginya konflik antar-orang tua, pola asuh orang tua yang keras, orang tua yang mengabaikan kebutuhan emosi anak, dll.
- Anak menjadi korban bullying atau mengalami penolakan dari lingkungan.
- Anak menjadi korban kekerasan fisik, seksual, atau emosional.
- Riwayat depresi atau isu kesehatan mental lain yang ada di keluarga.
- Mengalami stressful life events. Misalnya kecelakaan, orang tua meninggal dunia, sakit berkepanjangan, dll.
Jadi depresi itu bisa dipicu oleh satu penyebab, namun bisa juga dipicu oleh lebih dari satu penyebab yang ada.
Biasanya ciri-ciri anak depresi itu seperti apa?
Saya sebutkan ciri-ciri umum ya, anak depresi seringkali terlihat sebagai berikut:
- Sedih dan mood rendah atau negatif yang berkepanjangan.
- Mudah terpancing, mudah marah, mudah kesal setiap saat.
- Tidak tertarik melakukan aktivitas yang tadinya dia minati.
- Tampak lesu, low energy, dan merasa lelah sepanjang waktu.
Selain itu, anak juga bisa menampilkan ciri-ciri seperti ini:
- Mengalami susah tidur atau insomnia. Bisa jadi sebaliknya, terlalu banyak tidur.
- Si Kecil mengalami tidak nafsu makan atau makan secara berlebihan.
- Perubahan berat badan yang signifikan.
- Sulit berkonsentrasi.
- Tidak banyak berinteraksi dengan teman atau keluarga.
- Mulai kehilangan percaya diri, sering menyebut dirinya tidak berguna, dan tidak merasakan apapun atau mati rasa.
- Punya pemikiran untuk menyakiti diri sendiri atau untuk bunuh diri.
- Menunjukkan perilaku menyakiti diri sendiri (self-harm).
Lalu sebagai orang tua, apa yang bisa kita lakukan ketika anak mulai menunjukkan tanda depresi?
Hal pertama yang bisa orang tua lakukan adalah bicara pada anak. Tanyakan apa yang dia rasakan dan pikirkan. Jadilah pendengar yang atentif atau perhatian, tanpa terburu-buru memberinya nasihat atau masukan.
Lakukan validasi pada emosi anak, empati pada kondisi anak, perlakukan anak dengan compassion yaitu penuh kasih sayang, dan tawarkan support yang Si Kecil butuhkan.
Seandainya anak menolak untuk bicara dengan orang tua, beri dia semangat agar dapat bicara pada orang yang dia percaya. Hindari untuk mendiagnosa tanpa bantuan ahli seperti psikiater atau psikolog. Jadi ketika Parents melihat tanda-tanda di atas, sebaiknya bicaralah pada ahlinya agar mendapat saran dan tindak lanjut yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Kalau begitu, kapan sebaiknya anak depresi dibawa ke psikolog?
Anak perlu dibawa ke psikolog, saat tanda-tanda yang ditampilkan anak sudah di luar batas wajar (deviance), atau kondisi yang anak alami mengganggu keberfungsiannya sehari-hari (dysfunction). Misalnya tidak mau sekolah, tidak mau bertemu orang, membahayakan dirinya atau orang lain, atau menyebabkan distress pada dirinya dan lingkungan sekitar.
Di luar itu, sesungguhnya tidak ada batasan kapan anak perlu bertemu dengan psikolog. Parents dapat mendorong Si Kecil untuk bertemu dengan psikolog bahkan sebelum ia menunjukkan tanda-tanda depresi. Dengan begitu, kita sudah selangkah lebih maju untuk memberdayakan anak agar ia dapat mengatasi masalahnya.
Parents, sekarang sudah paham ya, bahwa depresi bisa terjadi pada siapa saja bahkan anak yang sudah berusia 3 tahun. Mudah-mudahan diskusi Bumin dengan psikolog anak bisa membuat Parents lebih peka lagi terhadap Si Kecil untuk menghindarinya dari depresi.
Bumin ingetin lagi, depresi pada anak bukan suatu hal yang memalukan, seperti yang disebutkan sebelumnya sebanyak 80 persen orang pernah merasa tertekan. Fokus kita sebagai orang tua adalah untuk membuat anak kita bisa tumbuh dengan bahagia, jika Si Kecil mengalami depresi kita lakukan langkah yang sudah dijelaskan oleh psikolog anak dan remaja.