Sebelum saya tahu fakta ini, saya cenderung mengarahkan para buah hati terlibat permainan terstruktur ketimbang permainan tidak terstruktur alias bermain bebas. Ciri khas permainan terstruktur adalah memiliki aturan atau instruksi, dipandu orang dewasa, dan bertujuan mengenalkan konsep baru. Misalnya, permainan puzzle dan balok, bekerja dengan aparatus Montessori, maupun kegiatan olahraga. Prinsip saya saat itu, kegiatan bermain haruslah ‘berbobot’ agar mencapai tujuan pembelajaran yang spesifik seperti mengasah area perkembangan tertentu.
Tapi, setelah memahami betapa besarnya manfaat anak bermain bebas, cara pandang saya berubah. Saya pun kini lebih luwes membebaskan mereka bermain. Mau main masak-masakkan dengan memadukan peralatan makan plastik, pom-pom mini aneka warna, dan beberapa kepingan puzzle? Monggo, Nak! Anak lebih antusias memainkan kardus mainan ketimbang mainan barunya? Enggak apa-apa, kok. Soalnya, ternyata anak menuai banyak manfaat pula ketika menentukan sendiri kegiatan bermainnya. Sama halnya dengan permainan terstruktur, bermain bebas juga memberikan banyak manfaat yang unik, lho.
Bermain haruslah membuat anak senang
Child Care Resources, lembaga swadaya masyarakat Amerika yang bergerak di bidang pendidikan anak usia dini, mengungkapkan bahwa kegiatan bermain semestinya:
- bersifat spontan;
- dipilih oleh anak sendiri;
- menyenangkan;
- tidak berfokus pada hasil akhir.
Dengan begitu, kegiatan bermain sejatinya mengizinkan anak bersenang-senang tanpa khawatir harus menuntaskan pekerjaan tertentu. Anak pun memiliki kendali atas hidupnya saat itu dan dapat mengubah aturan permainan jika ia menyetujuinya.
Dalam permainan bebas, anak pun terlibat secara aktif meski tidak ada yang mengajarkannya cara bermain.
Permainan dramatis (dramatic play)
Ini adalah jenis permainan yang melibatkan imajinasi, pura-pura, dan kerja sama. Anak disebut melakukan permainan dramatis ketika ia menggunakan alat, tindakan, atau bahasa untuk mewakili pengalaman nyata atau khayalan. Misalnya bermain restoran dengan berpura-pura memasak dan menyajikan makanan. Contoh lain, bermain dokter-dokteran, belanja-belanjaan, bahkan menjadi superhero. Lewat permainan dramatis, anak memiliki kendali untuk menciptakan aturan. Jadi, kalau orang dewasa mengatur peran tertentu dalam permainan anak, itu bukan permainan dramatis, ya.
Tak hanya sendiri, dramatic play juga bisa dilakukan bersama-sama. Bayangkan anak-anak bermain peran sebagai ilmuwan. Mereka menjelajah, membayangkan, bekerja bersama, dan menciptakan penemuan baru. Lewat dramatic play, anak akan memperoleh kemampuan untuk bermain bersama, bergiliran, bekerja sama, berbagi, dan berkompromi.
Dramatic play juga melibatkan peran, objek atau properti, dan situasi atau tindakan tertentu untuk bermain pura-pura. Contohnya, seorang putri menggunakan cermin ajaib untuk menemukan anjingnya yang hilang. Kemudian cermin tersebut lantas menghadirkan anjingnya di lengan sang putri.
Kegiatan bermain seperti ini mengajarkan anak untuk berpikir secara abstrak dengan berpura-pura bahwa satu objek merepresentasikan benda lainnya. Anak-anak pun harus merenggangkan pikiran dan imajinasi mereka untuk berpura-pura.
Contoh lain, ketika ingin membuat milkshake, anak menganggap bel adalah es krim, tongkat menjadi susu, kantong kertas berfungsi sebagai blendernya, juga gelasnya berwujud palu mainan dan bola. Seiring bertambahnya usia anak, benda yang dijadikan objek pura-pura akan lebih jauh dari objek aslinya, lho. Sampai akhirnya, anak menjadikan objek tertentu sebagai makhluk hidup.
Jadi, kalau kita melihat anak bermain pura-pura, namun objeknya kurang nyambung menurut orang dewasa, jangan dikoreksi ya, Parents! Yuk, biarkan Si Kecil bermain sekehendak hatinya.
Referensi:
- Artikel “Should I set up structured play activities for my toddler?” pada Baby Center
- “Bermain Itu Belajar” pada Rumah Dandelion
- “Make Time For Play: How To Balance Structure And Unstructured Play” pada CBC
(Febi/Dok. Shutterstock)