Sebagai orang tua biasa, terkadang saya kesulitan menahan diri untuk tidak banyak mengatur anak. Sebut saja, sedikit-sedikit mengoreksi tindak-tanduk Si Kecil mulai dari memasukkan jari ke mulut, membongkar mainan hingga tercecer, sampai kegemarannya bermain tanah. Padahal, menurut Michele Borba, penulis No More Misbehavin’: 38 Difficult Behaviors and How to Stop Them, anak-anak justru menjadi kewalahan dan makin sulit diatur jika dikoreksi terus-menerus.
Karena itulah, kita perlu memikirkan alternatif mendisplinkan selain larangan untuk mendisiplinkan anak. Simpanlah larangan untuk situasi yang mengancam isu-isu prioritas, seperti kesehatan dan keamanan diri sendiri maupun orang lain.
Pertimbangkan tingkat toleransi keluarga
Lantas, bagaimana dengan situasi sebagai berikut?
- Meninggalkan remahan di sofa ruang tamu.
- Kewajiban untuk beribadah.
- Makan permen.
- Menghisap jari.
Menurut Borba, aturan mengenai hal-hal seperti di atas biasanya kembali lagi pada nilai-nilai dan tingkat toleransi masing-masing keluarga.
“’Pertarungan’ yang memang layak diperjuangkan adalah hal-hal yang paling orang tua pedulikan, yakni perilaku-perilaku yang membantu pembentukan karakter sang buah hati sebagai seorang insan,” jelas Borba seperti dilansir Parents.
Untuk mencari tahu lebih jauh, coba trik yang ia sarankan berikut ini.
“Bayangkan, 25 tahun dari sekarang, gambarkan sosok Si Kecil yang sudah dewasa. Sifat-sifat apa saja yang ingin kamu lihat pada dirinya? Apakah empati, kejujuran, kegigihan, atau tanggung jawab? Setelah mengidentifikasi hal-hal yang paling penting, kamu akan lebih mudah mencari tahu ‘pertarungan’ mana yang harus dipilih juga ‘pertarungan’ mana yang dibiarkan lalu,” jelas Borba.
Ayah dan Ibu pun mungkin mulai menyadari, remah-remahan biskuit di lantai yang disebabkan oleh Si Kecil sebenarnya tak perlu begitu diambil pusing, bukan?
Bukan berarti pasrah, tetaplah konsisten
Bila menghadapi perilaku yang tidak mengancam hal-hal yang menjadi prioritas, sementara diri sedang merasa lelah, sesekali berbesar hati dapat menjaga kewarasan Ayah dan Ibu, lho. Si Kecil pun mendapatkan kesempatan untuk berlaku mandiri karena lebih sedikit dikoreksi.
Meski begitu, bukan berarti Ayah dan Ibu selalu pasrah dengan ‘kekacauan’ yang terjadi di rumah. Lanjutkan dan konsistenlah menerapkan aturan-aturan maupun rutinitas yang dijalankan bersama Si Kecil selama ini. Soalnya, aturan yang kalian terapkan sekarang akan berdampak pada diri anak-anak beberapa tahun kemudian.
Sekalinya Si Kecil lolos setelah sekali melanggar, orang tua akan kesulitan membuatnya patuh kembali terhadap aturan bersangkutan.
Pilih alternatif selain larangan
Ayah dan Ibu juga bisa menggunakan kata-kata alternatif selain kata negatif “tidak” dan “jangan” untuk mengalihkan Si Kecil yang hendak melanggar aturan.
“Ide bagus, tapi kita coba lain kali aja, ya.”
“Stop…”
“Bahaya…”
“Panas… aduh sakit!” (sambil menunjukkan raut kesakitan)
Jika Si Kecil butuh menyalurkan energi maupun kreativitasnya, sediakanlah sarana lain yang lebih aman. Misal, kertas besar yang ditempelkan di kulkas ketika ia ingin mencorat-coret dinding atau sediakan tumpukan bantal lembut di lantai saat ia hendak melompat-lompat di atas sofa kesayangan Ibu.
Untuk mengurangi penolakan dari buah hati, Ibu bisa memastikan kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi. Hindari agenda besar di luar rumah saat ia lapar ataupun kelelahan.
Stok kesabaran yang diimbangi dengan kebesaran hati dapat membuat orang tua lebih ‘waras,’ tanpa harus mematikan kreativitas dan sikap kritis Si Kecil.
(Febi/ Dok. Shutterstock)