Sebagai orang tua, dapat dipastikan kita pernah marah ke anak, ya. Apalagi saat anak menginjak usia balita, biasanya sudah memiliki kemauan sendiri dan masih perlu banyak diajarkan tentang pentingnya bersabar sejenak. Saya sendiri merasa harus terus belajar mengelola amarah dalam menghadapi polah kedua buah hati yang jaraknya berdekatan. Meski sudah membaca banyak artikel parenting, tetap saja praktik itu jauh lebih menantang ketimbang teori.
Tapi Ayah dan Ibu juga perlu tahu, menurut buku The Danish Way of Parenting, kejujuran emosional, bukan kesempurnaan, adalah hal yang dibutuhkan oleh anak-anak dari orang tua mereka. Anak-anak selalu mengamati cara kita marah, senang, frustrasi, puas, serta sukses juga cara mengekspresikannya pada dunia. Jadi, marah ke anak adalah hal yang manusiawi asalkan kita bisa mengungkapkannya dengan bijak.
Marah itu wajar, tapi hindari respons yang tidak memberdayakan
Menurut Psikolog Okina Fitriani dalam The Secret of Enlightening Parenting, respon yang tidak memberdayakan seperti omelan, teriakan, dan pilihan kata yang buruk terjadi karena manusia terjerat dalam kondisi emosi. Hal itu pun membuatnya kesulitan untuk berpikir jernih. Maka dari itu, orang tua perlu belajar mengelola amarah, terutama terhadap anaknya.
Pengelolaan amarah adalah proses pembelajaran untuk menyadari tanda-tanda bahwa Ayah atau Ibu menjadi marah sehingga dapat bertindak tenang dan menghadapi situasi dengan cara yang produktif. Tapi, upaya ini tidak bertujuan menjauhkan kita dari rasa marah maupun menahannya, lho.
Menurut situs Mayo Clinic, amarah adalah emosi yang normal dan sehat ketika kita dapat mengekspresikannya dengan tepat dan inilah yang dipelajari dari pengelolaan amarah. Pengelolaan amarah membantu kita menyadari frustrasi lebih dini dan menyelesaikannya dengan cara yang memungkinkan kita untuk mengutarakan kebutuhan diri dengan tenang dan terkendali.
Berusahalah untuk menenangkan diri dan bertindak tenang
Ayah dan Ibu perlu berusaha mengendalikan kesabaran karena amarah yang berlebihan sebenarnya tidak berguna.
Ketika Si Kecil membuatmu marah, tenangkan diri sejenak sebelum kamu mengambil tindakan disipliner.
Kamu pun bisa melakukan beberapa trik berikut ini.
- Mundurlah 1-2 langkah dan membayangkan dirimu tertinggal dari tempat sebelumnya berdiri. Dengan begitu, kamu bisa melihat dirimu secara imajinatif beserta Si Kecil maupun kondisi sekitar. Kamu berfungsi sebagai pengamat lalu berikan saran pada dirimu tentang cara bersikap di situasi yang dihadapi.
- Tarik napas dalam-dalam dan ucapkan ungkapan yang dapat meredam emosi (misal, dengan berkata Astaghfirullah jika kamu seorang Muslim). Lalu, ingat kembali bahwa marah berlebihan ke anak tidaklah berguna dan justru dapat mempengaruhi kondisi psikologisnya.
Jika kamu telah berhasil mengendalikan diri, tanggapi anak dengan menjelaskan kesalahannya secara tenang. Misal dengan berkata, “Kamu melempar mainan truknya. Truk bukan untuk dilempar-lempar. Mama ambil truknya, ya.” Dengan bertindak begitu, kamu mencontohkan perilaku yang baik, memberitahu perilaku yang tak disenangi, segera mengaitkannya dengan konsekuensi, dan disiplin efektif telah terlaksana. Kamu juga mampu bertindak layaknya orang dewasa.
Alihkan perhatian Si Kecil ketika mulai berulah
Menurut penulis What To Expect The Second Year, Heidi Murkoff, anak balita memiliki rentang perhatian yang sangat singkat. Bahkan, orang tua dapat mengalihkan perhatian Si Kecil untuk mendisiplinkannya. Misal, daripada berteriak melarang Si Kecil, ajak ia terlibat hal lain ketika ia mulai mengacak-acak tumpukan baju yang telah kamu rapikan.
Minta maaf ketika khilaf
Bagaimana jika kamu khilaf karena tak mampu mengontrol emosi? Jika amarah sedang memuncak dan sulit menenangkan diri, kamu bisa meminta orang lain di rumah untuk mendampingi Si Kecil sejenak, sementara kamu menyelesaikan emosi. Entah itu menangis di kamar yang terkunci atau mandi untuk ‘mendinginkan’ kepala.
Tak lupa, pastikan kamu meminta maaf pada Si Kecil setelahnya. Misal dengan berkata:
“Maaf ya, tadi Ibu meneriaki Kakak karena Ibu marah.”
“Maaf, tadi Ibu mencubitmu. Itu benar-benar salah.”
“Maaf, Ayah refleks memukulmu. Ayah takut sekali karena kamu berlarian di jalanan. Ingat, kamu harus menggandeng tangan Ayah ketika berada di jalanan, ya.” (Sampaikan penjelasan setelah meminta maaf)
Sisipkan juga ungkapan “Ibu sayang kamu” diikuti pelukan. Dengan begitu, Si Kecil belajar bahwa terkadang kita marah pada orang-orang yang disayangi.
(Febi/Dok. Shutterstock)