Pernahkah Ayah atau Ibu hilang kendali ketika melampiaskan amarah pada Si Kecil? Sebut saja, berteriak, memukul benda di depan anak, bahkan menyakiti buah hati? Sebagai manusia biasa, kita tak luput dari rasa gemes ketika anak bertingkah. Saya sendiri pernah beberapa kali khilaf membentak anak karena pikiran sedang mumet, sementara anak berulang kali menguji kesabaran. Tapi, kalau saya pikir-pikir lagi, marah berlebihan ke anak enggak worth it sebenarnya.
Marah membuat lelah jiwa dan raga
Ini hal yang saya alami secara pribadi. Ketika tak mampu mengendalikan amarah, saya merasa energi saya terkuras, kepala saya menjadi pusing, juga leher dan bahu saya menegang karena stres. Ternyata hal ini dibenarkan oleh situs Medical News Today yang menjelaskan, ketika seseorang marah, tubuh melepaskan hormon-hormon stres seperti adrenalin, nonadrenalin, dan kortisol. Begitu juga denyut jantung, tekanan darah, dan suhu tubuh yang meningkat serta napas menjadi lebih cepat.
Maka tak heran, amarah yang sering kali tidak dikendalikan dapat membuat seseorang sakit akibat adanya kandungan hormon stres dalam darah secara terus-menerus. Masalah kesehatan yang bisa muncul akibat marah yang tak terkontrol mulai dari melemahnya sistem kekebalan tubuh, sakit kepala, sampai serangan jantung, lho.
Anak batita mudah lupa dan teralihkan dengan perilakunya
Menurut penulis buku What To Expect The Second Year, Heidi Murkoff, anak-anak usia bawah tiga tahun (batita) memiliki daya ingat, rentang perhatian, dan pengendalian diri yang sangat terbatas. Kita tidak bisa berharap anak berusia satu tahun dapat memetik pelajaran dari situasi yang baru pertama kali terjadi maupun memintanya untuk menghindari hal-hal yang telah kita larang. Intinya, anak batita belum dapat memahami konsep baik dan buruk.
Karena itulah, percuma kalau kita marah dan mengeluh bahwa anak kita ngeyel meski telah diberitahu berulang kali. Soalnya, kecenderungan mudah lupa dan teralihkan perhatiannya sudah menjadi ciri khas perkembangan anak batita.
Maka tak heran, anak saya dapat lantas ceria dan kembali mesra meski beberapa menit sebelumnya ia menangis karena dibentak sang ibu yang khilaf.
Anak mudah memaafkan
“Maaf ya, Mas. Tadi Mama marah-marah sama Mas, ya?” tanya saya memulai pembicaraan.
“Iya, Mama marah,” jawab si kakak masih dengan wajah sedih.
“Mama marah karena kamu tidak mau mengikuti arahan Mama. Maafin Mama, ya?” tanya saya.
“Iya,” jawab si kakak dan senyuman mulai tersungging di bibirnya.
Biasanya inilah yang terjadi. Anak selalu mau memaafkan ibunya setelah menerima bentakan. Selain itu, seperti hal yang saya singgung sebelumnya, suasana hati anak bisa langsung berubah menjadi ceria. Lantas, tegakah kita membiarkan Si Kecil berulang kali menjadi pelampiasan amarah kita?
(Febi/Dok. Shutterstock)