Setiap orang tua tentu punya cara masing-masing dalam pengasuhan anak. Ada yang berusaha kompak satu suara. Ada juga yang berbagi peran sebagai bad cop dan good cop misalnya. Terkadang tanpa disadari, saya juga melakukan hal ini bersama suami. Contoh, saat anak enggak mau makan, saya cenderung tegas, meminta mereka buat makan. Sementara suami saya dengan santainya bilang, “Enggak mau makan ya? Ya udah, enggak apa-apa.” Saya jadi bad cop, suami jadi good cop. Hasilnya, anak-anak lebih memilih main bareng ayahnya yang jadi “polisi baik”.
Dampak penerapan bad cop dan good cop
Menurut Orissa Anggita, psikolog pendidikan dari Rumah Dandelion, penerapan bad cop dan good cop kurang efektif untuk mendisiplinkan anak. Bad cop mengacu ke orang tua yang lebih tegas menegakkan aturan. Sementara good cop untuk orang tua yang cenderung permisif.
Mungkin kalau di kehidupan sehari-hari bad cop lebih sering say NO, sedangkan good cop lebih sering say YES terhadap berbagai tingkah laku anak. Sistem bad cop dan good cop menunjukkan upaya penerapan disiplin yang tidak konsisten alias tidak sejalan antar orang tua.
“Ini akan menimbulkan kebingungan bagi anak dan lebih sulit untuk membentuk perilaku yang diinginkan. Anak juga dapat belajar untuk memanipulasi situasi demi keinginan mereka. Misalnya, ‘kata mama kemarin boleh, kok sama papa tidak boleh?’,” jelas Orissa.
Selain membuat anak bingung, penerapan bad cop dan good cop bisa membuat anak memiliki orang tua favorit dan yang ditakuti. Mindset seperti ini bakal mempengaruhi attachment atau kedekatan mereka dengan orang tuanya. Hhmm.. pasti Ayah dan Ibu enggak mau kan jadi si bad cop yang tidak disukai Si Kecil?
Penerapan disiplin selain bad cop dan good cop
Orissa mengaku ia sendiri kurang setuju dengan istilah bad cop karena menempatkan orang tua sebagai sosok yang otoriter atau buruk. Padahal, penerapan disiplin secara positif tetap diperlukan untuk membentuk perilaku baik pada anak.
Jadi daripada menerapkan bad cop dan good cop, Orissa menyarankan Ayah dan Ibu untuk menjadi parenteam. Orang tua bisa membuat kesepakatan terkait aturan yang berlaku di rumah dan saling mendukung agar aturan ini berjalan konsisten.
“Kalaupun ada keputusan atau kalimat dari suami-istri yang sebenarnya kurang disetujui, jangan mengoreksinya di depan anak. Saat di depan anak, (suami dan istri) tetap perlu terlihat seiya sekata,” jelas Orissa.
Pola asuh yang juga efektif yaitu pengasuhan autoritatif. Caranya, Ayah dan Ibu bisa memberi aturan dan batasan jelas dalam berperilaku. Misalnya, kenapa perilaku A boleh dan perilaku B tidak boleh? Anak juga diberi kesempatan memilih dan berpendapat.
Di sisi lain, orang tua mesti responsif pada kebutuhan anak, dan punya tuntutan yang realistis. Misalnya, “Kamu tetap harus mandi ya walaupun libur, biar badannya bersih. Mau berapa menit lagi mandinya?” Atau misalkan anak enggak mau mandi, kamu bisa memakai trik seperti , “Mau mandi sama ayah atau sama ibu?”.
Intinya, sebagai tim di parenting, Ayah dan Ibu mesti kompak. Dengan begitu, anak akan belajar untuk menyesuaikan diri dan bersikap sesuai aturan di rumah.
(Dyah/ Dok: Shutterstock)