Saya ingat betul, semua saudara kandung saya sempat menjajal baby walker saat mereka berusia balita. Ketika anak-anak saya sudah menginjak usia balita, nenek mereka pun menyarankan untuk membeli baby walker. Namun, saya menolak karena ternyata baby walker memiliki bahaya yang lebih besar ketimbang manfaatnya.
Sesuai namanya, baby walker ‘dipercaya’ dapat merangsang anak balita untuk belajar berjalan. Terkadang keberadaannya kerap diandalkan orang tua selagi sibuk melakukan pekerjaan lain. Tapi, tahukah Ayah dan Ibu, kini para pakar melarang penggunaannya karena memiliki risiko cedera dan kematian yang sangat besar. Bahkan, Akademi Dokter Anak Amerika (AAP) telah melarang pembuatan dan penjualan baby walker. Memangnya apa sih, bahaya menggunakan baby walker?
Alasan baby walker berbahaya
Menurut Penulis What To Expect The First Year Heidi Murkoff dan Sharon Mazel, baby walker telah menyebabkan terlalu banyak cedera yang membutuhkan penanganan medis. Hal ini diamini oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang mengutip temuan dari AAP bahwa pada 1999, sekitar 8.800 anak usia kurang dari 15 bulan dibawa ke rumah sakit bagian gawat darurat karena kecelakaan baby walker. Selain itu, dari tahun 1973 sampai 1998, sebanyak 34 bayi dilaporkan meninggal akibat baby walker. Sebagian besar dari mereka terjatuh dan mengalami cedera kepala.
Menurut IDAI, baby walker menjadikan bayi lebih tinggi sehingga memungkinkannya menggapai barang-barang yang letaknya tinggi, termasuk benda berbahaya seperti pisau. Baby walker juga membuat bayi lebih mudah bergerak tak terkendali di sepanjang ruangan. Murkoff mengungkapkan, kondisi inilah yang menyebabkan luka bakar lantaran kabel alat eletronik penghantar panas tertarik saat baby walker melintas.
Risiko lain dari penggunaan baby walker menurut IDAI, antara lain cedera otak, patah tulang, juga luka-luka karena terjatuh saat melintasi tangga atau terjungkil pada permukaan yang tidak rata.
Kondisi lainnya yang dapat menyebabkan risiko cedera saat anak menaiki baby walker, antara lain bayi dapat:
- mencapai alat penghangat atau tempat api,
- menjangkau lemari/laci yang berisi produk pencucian,
- meraih minuman panas, ceret mendidih, atau seterika, dan
- mencapai ember atau baskom air.
Baby walker membuat bayi lebih sedikit belajar
Meski risikonya tinggi, apakah baby walker membantu bayi lebih cepat berjalan? IDAI menegaskan, baby walker tidak menolong bayi untuk berjalan lebih cepat daripada anak-anak yang tidak memakai walker.
Murkoff juga menyebutkan hasil penelitian yang mengungkapkan, bayi-bayi yang terlalu banyak menghabiskan waktu di stationary play center seperti baby walker, infant swing (ayunan bayi), juga infant seat (tempat duduk khusus bayi dengan ragam mainan) dapat lebih lambat duduk, merangkak, dan berjalan. Pasalnya, mereka tidak memiliki cukup kesempatan untuk melenturkan otot-otot yang dibutuhkan untuk menguasai tiga kemampuan tadi.
Faktanya, bayi menggunakan otot yang berbeda untuk tegak di stationary play center dan berjalan. Malahan menurut IDAI, baby walker menguatkan otot yang salah.
“Kedua tungkai bawah memang diperkuat, tetapi tungkai atas (paha) dan pinggul tetap tidak terlatih. Padahal, tungkai atas dan pinggul sangat penting untuk berjalan,” tulis situs IDAI.
Selain itu, ketidakmampuan bayi untuk melihat kaki mereka saat berada di baby walker membuatnya tak bisa memperhitungkan cara tubuh bergerak melewati ruang. Padahal, inilah yang menjadi kunci bagi bayi untuk belajar berjalan.
Bayi-bayi yang terbiasa menggunakan baby walker juga sering berdiri dengan ujung jari kaki mereka. Menurut IDAI, hal itu dapat mengakibatkan otot kakinya tegang dan mengajarkan bayi untuk berjalan pada ujung jari kaki.
Sementara menurut Murkoff, baby walker membuat bayi tidak mempelajari:
- cara menyeimbangkan diri (termasuk bagaimana dan kapan ia gagal melakukannya),
- pengalaman jatuh, dan
- caranya untuk bangkit.
Jadi, ketimbang mengandalkan baby walker, sebaiknya anak didorong untuk belajar berjalan sendiri. Yuk, baca juga artikel Usia Hampir Setahun Anak Belum Berjalan agar kamu lebih tenang dan sabar menghadapi proses belajar Si Kecil.
(Febi/ Dok. Shutterstock)