Adik saya bekerja sebagai pengawas suatu daycare di daerah Jakarta Selatan. Dia cerita, daycare-nya menerapkan time out untuk anak-anak yang “kelewat nakal”. Seperti melakukan tindakan yang membahayakan dirinya dan anak lain. Atau sama sekali tidak mau mengikuti arahan dari orang dewasa di sana, walaupun sudah berkali-kali diberitahu.
Terus saya tanya, ”Peraturan time out itu diterapkan untuk anak usia berapa?”. Jawabannya cukup bikin saya kaget. Karena diberlakukan untuk anak mulai usia satu tahun ke atas. Usia yang menurut saya masih kekecilan untuk di-time out.
“Tapi ya aturannya untuk anak satu tahun beda sama yang sudah tiga tahun ke atas,” jelas adik saya. Time out bagi anak satu tahun dilakukan dengan mengajaknya ke pojok ruangan atau terpisah dari kerumuman teman-temannya untuk sementara. Sedangkan untuk anak di atas tiga tahun, terkadang mereka harus membawa Si Anak ke ruangan khusus dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya agar anak itu menenangkan diri.
Time out untuk mendisiplinkan anak
Bahasan tentang ini muncul lagi saat saya mengikuti seminar “Penerapan Disiplin Untuk Anak” yang diadakan oleh Rumah Dandelion 26 Mei lalu. Saat itu seorang ibu bertanya ke psikolog Agstried Elisabeth, “Sekarang anak saya lagi di fase susah buat dibilangin. Terus ada teman saya di Amerika yang menerapkan time out ke anak. Saya jadi terpikir buat melakukan ini ke anak saya. Sebenarnya, apakah cara itu efektif buat mendisiplinkan anak?”
Jawaban dari psikolog Agstried memberikan pandangan baru ke saya. Bahwa konsep time out di luar negeri berbeda dengan yang dipahami kebanyakan orang di sini (di Indonesia). “Di luar negeri tujuannya agar anak menenangkan diri. Sedangkan di sini sering diartikan dengan menghukum, mengasingkan anak,” jelas Agstried.
Sebelum menerapkan time out, orang tua juga mesti memperhatikan kondisi anak. Cara ini baru bisa efektif kalau anak sudah mengerti maknanya dan apa yang mesti dia lakukan saat itu. Orang tua juga mesti mendampingi, bukan membiarkan anak sendirian tanpa mengerti tujuannya.
“Beri tahu ke anak, ‘kamu belum bisa main, duduk dulu di sini.’ Atau misal anak memukul temannya, sampaikan ke dia ‘kalau kamu gantian dipukul, sakit kan?’,” kata Agstried. Dengan refleksi yang disampaikan saat time out, anak bisa lebih mengerti konsekuensi dari tindakannya dan tindakan apa yang mesti dia lakukan kemudian.
Time out juga untuk orang tua
Menurut psikolog dan penulis buku Practical Wisdom for Parents, Nancy Schulman, time out tidak hanya dapat diterapkan ke anak, tapi juga orang tua. Terutama saat kita tidak bisa menahan emosi waktu berhadapan dengan anak-anak.
“Ambil jarak sejenak dari anak. Ambil napas dalam-dalam dan hitung sampai sepuluh. Dengan begitu, orang tua akan lebih tenang dan bisa lebih efektif menerapkan disiplin ke anak,” kata Schulman. Cara lainnya, ayah dan ibu bisa sejenak pergi ke ruangan yang berbeda dengan anak. Tapi sebelumnya pastikan anak kamu dalam keadaan aman.
“Kalau orang tua tidak bisa meninggalkan anak, bawa Si Kecil ikut pindah ke ruangan lain. Suasana yang berbeda dapat lebih menenangkan emosi kita. Lebih baik lagi kalau ada suami atau kerabat lain di rumah yang bisa dititipkan anak untuk sejenak,” kata Schulman.
Sebelum melakukan time out, baik untuk kita ataupun anak, usahakan untuk mengontrol diri. Saat tahu emosi kita terpancing, segera tenangkan diri agar emosi kita tidak meledak dan “menular” ke anak. Jika orang tua lebih tenang, biasanya anak juga akan lebih mudah mengontrol emosinya.
(Dyah/ Dok: Shutterstock)