Pernah dengar tentang preeklampsia? Bagi sebagian orang, istilah ini mungkin masih asing. Saya sendiri cuma sekilas mendengarnya dari obgyn, waktu masih hamil Si Kecil. Tapi ternyata, penyakit komplikasi ini enggak bisa disepelekan.
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (2012), angka kematian ibu di Indonesia mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup. Artinya, ada 16.515 ibu yang meninggal akibat kehamilan, persalinan dan nifas. Preeklampsia termasuk di antara penyebab kematian ini.
Bukan cuma di Indonesia, penanganan preeklampsia juga jadi perhatian WHO. Bahkan setiap 22 Mei diperingati sebagai World Preeclampsia Day. Tujuannya agar masyarakat lebih aware terhadap penyakit ini sehingga keselamatan ibu dan bayi dapat ditingkatkan.
Jadi..apa itu preeklampsia?
Menurut penjelasan di situs Baby Center, preeklampsia adalah komplikasi kehamilan yang menyebabkan tekanan darah tinggi, gangguan ginjal dan masalah kesehatan lain.
Kebanyakan ibu mengalaminya di trimester akhir kehamilan. Tapi ada juga kasus preeklampsia di trimester kedua kehamilan, di saat persalinan atau pascapersalinan.
Preeklampsia ditunjukkan dengan beberapa gejala, seperti:
– Tekanan darah tinggi
– Terdapat kandungan protein di urin
– Bengkak pada kaki, wajah atau di seluruh tubuh (untuk kasus preeklampsia parah)
– Kenaikan berat badan berlebih
Ibu hamil juga sebaiknya konsultasi ke dokter kalau merasakan tanda-tanda yang mengarah ke preeklampsia, seperti:
– Sering pusing atau sakit kepala dalam waktu lama
– Muncul gangguan penglihatan seperti tidak fokus, sensitif pada cahaya
– Nyeri di perut bagian atas
– Muntah dan mual di trimester kedua dan ketiga
– Susah bernapas
Beberapa gejala preeklampsia memang mirip dengan gangguan yang umum dialami ibu saat hamil. Di sisi lain, ada juga ibu hamil yang mengalami preeklampsia tanpa merasakan gejala apapun.
Mereka yang berpotensi preeklampsia
Meski penyebabnya belum diketahui secara jelas, ada beberapa kondisi yang beresiko mengalami komplikasi kehamilan ini, yaitu:
– Ibu yang menjalani kehamilan pertama
– Ada riwayat preeklampsia di keluarga
– Hamil kembar
– Hamil di atas usia 35 tahun
– Pernah mengalami preeklampsia di kehamilan sebelumnya
– Menjalani program IVF (in vitro fertilization)
– Diet buruk seperti terlalu banyak konsumsi garam dan kurang asupan kalsium
– Menderita hipertensi sebelum hamil
– Mengidap penyakit ginjal
– Memiliki kelainan pada darah seperti sickle cell dan trombophilia
– Menderita penyakit autoimun seperti lupus
Dampak preeklampsia pada ibu dan janin
Tekanan darah tinggi akibat preeklampsia dapat membuat ibu mengalami stroke dan kejang. Aliran darah ke plasenta yang berkurang juga membuat asupan nutrisi dan oksigen untuk janin juga makin sedikit.
Akibatnya, bayi beresiko lahir dengan berat badan rendah, biru saat dilahirkan atau lahir prematur. Pada kasus yang parah, ibu dapat mengalami eklampsia, sindrom HELLP, hingga kematian ibu dan janin.
Jika ibu mengalami preeklampsia
Kalau kehamilan kamu sudah berusia 37 minggu, kebanyakan dokter menyarankan untuk segera melahirkan demi keselamatan ibu dan bayi. Prosesnya bisa melalui induksi untuk persalinan normal. Atau operasi caesar jika dokter menilai kondisi ibu dan janin kurang mendukung.
Sementara jika usia kehamilan masih kurang dari 37 minggu, serta kesehatan ibu dan janin cenderung stabil, dokter akan tetap mempertahankan kehamilan. Tapi biasanya ibu diminta untuk bedrest, demi menghindari resiko komplikasi.
Dokter juga tetap memantau tekanan darah, melakukan tes darah dan tes urine. Sementara keadaan janin diperiksa lewat USG untuk mengetahui pertumbuhan dan pergerakannya.
Habis baca penjelasan di atas, mungkin kamu bakal berpikir, “Preeklampsia bisa dicegah enggak ya?”. Ibu dapat menghindarinya dengan rutin memeriksakan kandungan. Jadi dokter dapat memantau kesehatan ibu serta memberi tindakan apabila ada kondisi yang mengarah ke preeklampsia.
Banyak juga kok ibu dan bayi yang menjadi preeclampsia survivor alias dapat melewati kondisi ini dengan selamat. Asalkan mendapat penanganan yang tepat sejak dini, kesehatan ibu dan janin dapat tetap terjaga.
(Dyah/Dok: Shutterstock)