Kebanyakan Ibu pasti khawatir bahkan panik kalau anaknya demam, termasuk saya. Namun, setelah belajar dari Program Edukasi Keshatan Anak untuk Orang Tua (PESAT) yang rutin digelar Yayasan Orang Tua Peduli, saya menjadi belajar bahwa demam adalah kawan, bukan lawan. Penggunaan obat penurun demam pun perlu dibatasi agar tubuh dapat optimal memerangi virus atau bakteri serta memudahkan dokter mendiagnosis penyakit. Yuk, kita simak penjelasan dari para narasumber PESAT, dr. Purnamawati S Pujiarto, SpAK, MMPed dan dr. Windhi Kresnawati, SpA. Harapannya, kita dapat lebih bijak menggunakan obat demam.
Obat demam untuk menyamankan anak
Perlukah pemberian antipiretik saat anak demam? Dokter Wati lantas mengutip imbauan situs Royal Children Hospital, “don’t treat down grade fever.” Artinya, jangan obati demam ringan. Menurutnya, obat demam sebenarnya bertujuan untuk menyamankan anak, bukan ‘mengobati’ suhu.
“Suhu mah jangan diotak-atik. Enggak usah dikasih obat, demam turun sendiri. Mungkin nanti tiga jam naik lagi. Makanya ‘celakalah’ kalau kita fokusnya di suhu. Jangan menganggap demam itu jahat. Silakan buka RCH (Royal Children Hospital) atau lainnya. Enggak ada satu pun organisasi profesi kedokteran yang mengatakan demam itu jahat,” jelas dr. Wati.
Virus dan bakteri marak di suhu rendah
Sementara, dr. Windhi menambahkan bahwa virus atau bakteri justru marak di suhu rendah. Karena itulah, ia mengingatkan orang tua untuk berhati-hati dalam menggunakan obat demam.
“Kalau di kedokteran itu, (obat demam) prinsipnya diberikan kalau perlu. Jadi, bukan kayak obat hipertensi kalau lupa diminum berbahaya,” ungkap dr. Windhi.
Waspada efek samping
Dokter Windhi juga menyarankan membatasi pemberian obat demam. Menurutnya, pemberian obat demam yang intens dapat memperbesar risiko efek sampingnya. Dokter spesialis anak ini pun menceritakan kecenderungan sebagian ibu yang memberikan obat demam dengan merek berbeda-beda dalam kurun 24 jam demi menurunkan suhu tubuh anak. Padahal, tak jarang merek-merek obat tersebut ternyata memiliki kandungan yang sama. Misal, ternyata merek A dan B sama-sama mengandung Paracetamol.
“Hasilnya, overdosis obat demam. Kalau overdosis Paracetamol, rusak hatinya. Itu bisa masuk ICU. Kalau overdosis Ibuprofen, bisa pendarahan lambung. Saya pernah dapat pasien di Tangerang yang pendarahan lambung. Masalahnya sederhana. Dia demam, tapi tidak melek bahwa ketika dia beli obat tanpa resep, dia harus lihat (keterangan) isinya,” jelas dokter yang sebelumnya bertugas di Biak, Papua itu.
Dokter membutuhkan grafik demam
Pemberian obat penurun demam secara intens juga dapat menyulitkan diagnosis dokter, terlebih ketika terdapat tanda kegawatdaruratan pada anak. Pasalnya, dokter membutuhkan grafik demam untuk mengdiagnosis suatu penyakit.
“Ditanya sama dokter, ‘Demamnya sejak hari apa?’ Enggak tahu juga soalnya dalam 24 jam minum obat demam delapan kali, jadi enggak demam. Setiap penyakit grafik demamnya berbeda-beda. Ada tipe-tipe demam yang kita bisa dapatkan dari bertanya kepada orang tua dan menghasilkan diagnosis,” ungkap dr. Windhi.
Hindari pula pemberian obat Aspirin. Menurut dr. Windhi, jenis antipiretik itu sudah tak lagi digunakan.
Utamakan pemberian obat oral
Idealnya, pemberian obat ke anak adalah lewat mulut. Pemberian obat lewat anus sebaiknya dihindari karena dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan anak balita.
“Lewat anal enggak enak, ya. Pemberian obat sebaiknya senyaman mungkin yaitu melalui minum, pemberian obat melalui anus kan juga berpengaruh terhadap psikoseksual anak” terang dr. Windhi.
Wawasan yang membuka mata banget, ya! Yuk, lebih bijak menggunakan obat demam.
(Febi/Dok. Pixabay & Febi)