Kasus I: Anak enggan membereskan mainannya ketika diminta
A: Orang tua memukulnya
B: Orang tua menyita mainan tersebut seharian sehingga anak tidak bisa bermain
Kasus II: Anak membuat keonaran di sekolah
A: Orang tua memotong rambutnya asal-asalan untuk ‘memberikan pelajaran’
B: Orang tua menyita seluruh gadget-nya sepanjang petang di rumah
Dalam kasus yang sama, A dan B bereaksi berbeda. A bermaksud membuat anak menderita karena kesalahannya. Inilah ‘hukuman’ yang bertujuan menjadikan si pembuat kesalahan merasa buruk tentang dirinya. Hukuman sering kali tidak berkaitan dengan masalah perilaku dan bersifat keras. Terkadang, hukuman disengaja untuk mempermalukan anak-anak.
Di sisi lain, poin B adalah konsekuensi. Tujuannya, mengajarkan anak berlaku lebih baik di masa mendatang. Konsekuensi yang sehat membantu buah hati belajar dari kesalahannya. Manusia paling baik belajar dari kesalahan, bukan?
Tentang hukuman
Menurut Psikolog Najelaa Shihab dalam bukunya, Keluarga Kita: Mencintai dengan Lebih Baik, disiplin diri pada anak tidak efektif dengan hukuman.
“Sebagian besar dari kita mengalami hukuman, namun saat diminta menceritakan, jarang yang bisa merefleksikan pelajaran. Hal paling diingat tentang hukuman adalah apa yang dirasakan, emosi negatif karena merasa dipermalukan atau disalahkan, atau keinginan untuk melakukan perlawanan pada siapapun yang menjatuhkan hukuman,” jelas Psikolog Najelaa dalam bukunya.
Hukuman bersifat jangka pendek
Selain itu, menurut Psikoterapis Amy Morin, hukuman mungkin dapat ‘efektif’ untuk jangka pendek. Anak-anak dapat patuh karena takut dengan pemberi hukuman atau menginginkan orang tua untuk berhenti menyakiti maupun mempermalukan mereka. Berdasarkan berbagai studi, anak-anak yang tumbuh dengan hukuman fisik cenderung memiliki perilaku agresif.
Hukuman fisik tidak sepantasnya dialami anak-anak berbagai usia. Khususnya bayi dan balita karena mereka tidak mampu menghubungkan hukuman dengan perilaku yang diperbuat sehingga menderita rasa sakit semata.
Tentang konsekuensi
Konsekuensi terbagi dalam dua kategori: konsekuensi logis dan konsekuensi alamiah. Konsekuensi logis diciptakan oleh orang dewasa dan secara langsung berkaitan dengan perilaku buruk anak. Contohnya ada pada dua poin B di atas.
Sementara, konsekuensi alamiah merupakan hasil langsung dari perilaku anak. Orang tua bisa membiarkan anak mereka menghadapi konsekuensi alamiah dengan catatan, hal tersebut aman untuk dilakukan. Dengan begitu, anak akan mendapatkan pelajaran hidup yang penting secara langsung.
Misal, seorang anak enggan makan siang karena keasikan bermain. Konsekuensi alamiahnya adalah ia kelaparan kemudian. Contoh lainnya, anak tidak mau memakai jaket saat udara dingin. Ibunya membiarkan anak tersebut bermain di luar tanpa jaket sehingga konsekuensi alamiahnya, ia merasa kedinginan.
Konsekuensi membantu anak-anak belajar bahwa mereka telah membuat pilihan yang salah dan terdorong untuk berperilaku lebih baik lagi di masa mendatang. Hal terpenting, konsekuensi lebih efektif ketimbang hukuman dalam memperbaiki masalah-masalah perilaku pada anak.
Referensi:
- Artikel “The Difference Between Consequences and Punishment for Kids” oleh Amy Morin pada Verywell
- Artikel “Disciplining Your Child” pada KidsHealth
- Keluarga Kita: Mencintai dengan Lebih Baik oleh Najelaa Shihab
(Febi/ Dok. Pixabay)