“Kejadian luar biasa (KLB) difteri di Jawa Timur dan secara sporadik di daerah lain (Pontianak dan Banjarmasin) merupakan indikator program imunisasi nasional tidak mencapai sasaran.” Begitu pernyataan Ikatan Dokter Anak Indonesia dalam situs resminya belakangan ini. Indonesia pun kini berstatus KLB difteri. Yuk, berkenalan dengan penyakit difteri dan vaksinnya!
Gejala difteri
Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diptheriae dan sangat mudah menular. Biasanya bakteri tersebut tertular lewat droplet atau partikel air kecil yang dihasilkan saat seseorang batuk atau bersin. Komplikasi penyakit ini mulai dari toksin yang menyumbat saluran napas, peradangan pada lapisan dinding jantung bagian tengah, gagal ginjal, sampai kematian.
Apalagi, gejala awal difteri bisa tidak spesifik:
- Demam tidak tinggi
- Nafsu makan menurun
- Lesu
- Sakit saat menelan dan nyeri tenggorok
- Sekret hidung kuning kehijauan dan bisa disertai darah
Namun, penyakit difteri punya gejala khas berupa selaput putih keabu-abuan di tenggorok atau hidung, nyeri tenggorok disertai suara seperti mendengkur, dan pembengkakan leher atau disebut bull neck.
Jika penderita menunjukkan gejala-gejala tersebut, ia harus segera dibawa ke rumah sakit untuk diobati dan menjalani perawatan isolasi.
Mencegah lebih baik daripada mengobati
Pemerintah sebenarnya telah menyediakan imunisasi difteri, yakni berupa vaksin kombo DPT-HiB yang mencakup berbagai penyakit sekaligus (difteri, pertusis, tetanus, dan haemophilus influenzae tipe b) secara mudah dan gratis. Vaksin ini bisa didapatkan di posyandu dan puskemas kapan saja. Namun, ada juga orang tua yang memilih vaksin kombo lainnya seperti DT, Td (tanpa pertusis), dan DTaP dengan pertimbangan tertentu.
Apapun jenis vaksin yang dipilih, imunisasi difteri pada anak harus lengkap dan sesuai jadwal imunisasi dari Kementerian Kesehatan atau IDAI. Berikut jadwal imunisasi difteri lengkap sesuai rekomendasi IDAI.
- Usia kurang dari 1 tahun harus mendapatkan 3 kali imunisasi difteri, yakni saat usia 2, 3, dan 4 bulan.
- Anak usia 1-5 tahun harus mendapatkan imunisasi ulangan sebanyak 2 kali, persisnya pada usia 18 bulan dan 5 tahun.
- Anak usia sekolah harus mendapatkan imunisasi difteri melalui program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS), yakni siswa SD kelas 1, 2, dan 3 atau kelas 5.
- Imunisasi ulangan dilakukan setiap sepuluh tahun termasuk orang dewasa dalam bentuk vaksinasi Td. Bila status imunisasi belum lengkap, segera lakukan vaksinasi di fasilitas kesehatan terdekat.
Kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) vaksinasi DPT
Banyak orang tua yang memilih vaksin DTaP ketimbang DPT karena dipercaya memiliki risiko demam yang lebih kecil. Ini karena vaksin DTaP memiliki antigen atau zat perangsang respon imun yang lebih sedikit ketimbang DPT. Namun, kabar baiknya, DPT lebih efektif membangun kekebalan tubuh ketimbang vaksin DTaP berdasarkan publikasi ilmiah “Immunity to the Respiratory Pathogen Bordetella Pertusis” oleh Higgs, et al.
Meski begitu, orang tua sebaiknya mempelajari juga efek yang mungkin muncul agar lebih siap menghadapi kondisi anak setelah vaksinasi. Reaksi setelah penyuntikan DPT memang bervariasi dari ringan sampai berat, namun tidak seberat bila anak menderita penyakit tersebut. Berikut (Kejadian Ikutan Pascaimunisasi) KIPI ringan, sedang, hingga berat yang dialami pascaimunisasi DPT berdasarkan tulisan dr. Windhi Kresnawati dalam situs Milis Sehat.
KIPI ringan (sering terjadi)
- Dapat menghilang dalam 1-7 hari:
- Demam (1 dari 4 anak)
- Merah dan bengkak di tempat suntikan (1 dari 4 anak)
- Nyeri dan perih di tempat suntikan (1 dari 4 anak)
- Rewel (1 dari 3 anak)
- Tidak nafsu makan (1 dari 10 anak)
- Muntah (1 dari 50 anak)
KIPI sedang (jarang terjadi)
- Kejang (1 dari 14.000 anak)
- Menangis lebih dari 3 jam (1 dari 1.000 anak)
- Demam lebihd ari 40,5 derajat celcius (1 dari 16.000 anak)
KIPI berat (sangat jarang)
- Reaksi alergi berat
- Kerusakan otak yang permanen ( 1 dari sekian juta anak, sulit untuk dipertimbangkan sebagai efek sampin dari vaksin karena kejadiannya sangat jarang).
Hubungi dokter bila anak mengalami KIPI sedang dan berat.
Dengan mengenal lebih dekat penyakit berbahaya ini, orang tua semestinya mempersiapkan perlindungan terbaik untuk sang buah hati, yakni dengan vaksinasi.
Sejatinya, mencegah lebih baik daripada mengobati. Reaksi setelah penyuntikan vaksin memang bervariasi dari ringan sampai berat, namun tidak seberat bila anak menderita penyakit tersebut. Apapun jenis vaksin yang dipilih, imunisasi difteri pada anak harus lengkap dan sesuai jadwal imunisasi dari Kementerian Kesehatan atau IDAI.
(Febi/ Dok. Pixabay)