Sebagai millennial parents, pasti kamu sudah tidak asing dengan isi media sosial yang menampilkan postingan tentang anak si A saat pertama kali MPASI, video anak si B membaca flashcard, belajar jalan dan banyak lagi. Dalam istilah asing, hal ini disebut sharenting, gabungan dari sharing dan parenting. Yaitu, kebiasaan orangtua berbagai foto atau informasi tentang kehidupan anak, termasuk yang menggambarkan pola asuhnya.
Apa sih dampak sharenting?
Sharenting punya pengaruh yang berbeda pada tiap orang. Seperti yang dirasakan oleh Pratiwi Kusumastuti, ibu dari Keinan (1 tahun).
Tiwi mengaku cukup sering berbagi foto dan cerita tentang anaknya di akun Instagram. Tujuannya sebagai memori pribadi yang bisa dia lihat lagi. Terkadang juga untuk keperluan endorsement suatu produk.
Di sisi lain, informasi parenting yang Tiwi dapat dari orang lain membuat dia tidak merasa sendirian. Apalagi kalau isinya terkait dengan pengalaman yang pernah dia alami.
“Aku lebih sering dapat manfaatnya dari sharenting. Misal ada teman posting liburan sama anak, bisa untuk referensi selanjutnya, terus lihat tips dari teman biar anaknya mau makan,” cerita Tiwi.
“Tapi pernah kesal juga kalau ada postingan tentang anak dengan kondisi tidak aman. Kayak anak main dekat kipas angin atau renang tapi bagian kemaluannya kelihatan, jadi kasihan sama anaknya.”
Tiwi mengakui adanya keuntungan dan kerugian dari sharenting. Berbagi informasi bisa berdampak positif kalau isinya bermanfaat dan jadi inspirasi bagi orang lain. Tapi orang tua juga perlu mewaspadai dampak negatifnya.
Seperti yang ditegaskan psikolog anak dan keluarga, Monica Sulistiawati. ”Tidak setiap orang menikmati atau membutuhkan informasi yang kita bagi. Bisa jadi kalau terlalu banyak malah menimbulkan rasa iri, kesal atau penilaian negatif lainnya. Hal ini bisa memicu mommy shamming,” kata Monica.
Yuk, hindari oversharenting
Berbagi informasi memang menyenangkan dan membuat kita merasa berguna buat orang lain. Tapi kalau berlebihan, jadinya malah bisa oversharing. Nah, berikut cara menghindari oversharenting yang dirangkum dari penjelasan Monica dan situs US News.
Pertama, tanyakan ke diri sendiri apa manfaat dari postingan kamu? Siapa yang akan mendapat keuntungan dari hal itu? Misalnya, kamu ingin cerita kelahiran si kecil di rumah sakit A lewat tulisan di blog atau media sosial.
Jika tujuannya untuk berbagi pengalaman sekaligus memberi referensi yang bermanfaat bagi calon ibu lain, hal ini masih wajar dilakukan. Tapi kalau kamu menceritakan tiap detail perkembangan anak dan isinya tidak bermanfaat buat orang lain, sebaiknya kamu membatalkan niat untuk posting.
Kedua, pertimbangkan kondisi anak. Coba bayangkan apa yang akan dipikirkan anak kamu saat sudah besar nanti dia melihat foto atau cerita masa kecilnya banyak terpajang di dunia maya? Belum tentu anak bisa terima lho. Jadi, sebaiknya kamu tidak asal berbagi cerita tentang anak.
Hindari sharing mengenai tingkah laku anak dan emotional struggles yang ia alami. Kemudian, pastikan kamu tidak berbagi info detail terkait anak, seperti nama lengkap, tanggal lahir, lokasi anak dan keterangan privat lainnya. Untuk foto anak yang beredar di dunia maya, jangan sampai kamu menampilkan bagian tubuh anak yang tidak seharusnya terlihat orang lain.
Ketiga, kontrol diri. Saat berbagi di dunia maya, kamu tetap harus menjadi diri sendiri seperti di kehidupan nyata. Pastikan tujuan kamu memang untuk bercerita, bukan sekedar mengejar likes atau apresiasi dari orang-orang
Kontrol diri tentunya juga berlaku saat kita melihat postingan orang lain terkait parenting. Dengan begitu, kamu bisa tetap nyaman dengan pola asuh sendiri dan tidak terusik dengan cara yang diterapkan orang lain.
Perlu diingat ya, kalau mengasuh anak bukan suatu kompetisi untuk mencari siapa yang paling baik atau bahagia. Bukan juga untuk pamer tentang apa yang sudah kita dapat. Jangan sampai kamu oversharenting terus malah lupa sama prioritas buat mengasuh anak. So, enjoy your own parenthood!
(Dyah/Dok. Pixabay)