Kepergian sosok orang tua, terutama Ayah, bisa dengan berbagai cara. Entah karena memang takdir di tangan Tuhan, atau keinginan sosok Ayah itu sendiri – dalam artian, berpisah dengan sang Ibu, atau hal lainnya.
Halo, Parents! Apa kabar hari ini? Semoga hari ini selalu sehat-sehat saja dan lancar semuanya, ya.
Dari judul dan prolog di atas, kita bukan akan membahas hal-hal sedih, tapi lebih ke bagaimana menyikapi fatherless yang ternyata menjadi salah satu momok besar bagi anak-anak dan bahkan dewasa untuk saat ini dan seterusnya.
Sebelum kita membahas secara dalam, kita mesti tahu dulu Parents sebenarnya, apa itu fatherless.
Fatherless jika diartikan secara harfiah ke Bahasa adalah tidak memilikinya Ayah atau Bapak. Idealnya, orang tua untuk anak-anak ada dua sosok, yaitu Ibu dan Bapak/Ayah. Lalu, apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan terminology fatherless ini?
Sudut pandang pertama, seperti yang sudah ada di prolog – adalah ketiadaan sosok fisik seorang Ayah. Ketiadaan sosok fisik ini tentu dikarenakan berbagai hal. Seperti kematian, atau perceraian, dan bahkan kepergian tanpa alasan.
Kemudian, sudut pandang kedua adalah sosok fisik tersebut ada, tetap perannya yang tidak ada. Sosok Ayah tersebut secara fisik tetap bisa terlihat, dirasakan, tetapi perannya yang tidak ada sama sekali. Kewajiban-kewajiban yang menjadi peran Ayah, tidak dilakukan oleh sosok orang tua laki-laki tersebut.
Kedua sudut pandang ini tentu mempunyai tensi yang berbeda-beda, tetapi dampak untuk anak yang masih kecil atau anak yang sudah beranjak dewasa, tentu akan membawa masalah tersendiri. Hal ini yang nantinya juga akan kita bahas lebih dalam, Parents.
Fatherless di Tengah Kentalnya Patriarki
Indonesia, cukup terkenal dengan budaya Patriarki-nya, di mana sosok laki-laki dalam keluarga, terutama di posisi atau peran sebagai orang tua – menjadi alpha atau pemimpin yang berkewajiban untuk membuat segala keputusan atau kebijakan.
Budaya Patriarki ini tentu bersinggungan juga dengan banyak hal. Salah satunya adalah agama atau kepercayaan, di mana memposisikan laki-laki menjadi puncak kedudukan yang paling tinggi, minimal dalam keluarga.
Akan tetapi, beberapa tahun terakhir ini, terjadi shifting atau pergeseran terkait Patriarki. Maksud dari pergeseran ini bukan berarti budaya atau paham ini hilang begitu saja, tentu tidak. Tetapi, Patriarki sekarang ini lebih fleksibel.
Misalnya, dalam urusan rumah tangga, dahulu – urusan rumah, mengurus anak, sepertinya kental sekali menjadi tanggung jawab Ibu atau orang tua perempuan. Peran Ayah di rumah sepertinya diposisikan hanya untuk mencari nafkah. Hal ini membuat sosok Ayah terlihat seperti tidak perlu mencampuri urusan rumah tangga.
Padahal, sosok Ayah perlu sekali ikut berperan dalam rumah tangga. Sehingga, kehadirannya bisa dirasakan oleh semua anggota keluarga di dalam rumah tangga tersebut. Nah, Parents – pergeseran yang dimaksud adalah sekarang ini, sudah banyak orang tua laki-laki atau Ayah yang ikut berperan dalam rumah tangganya.
Sehingga, Patriarki yang dahulu begitu kental dengan ragam aturannya, sekarang perlahan bergeser menjadi lebih fleksibel. Sesederhana, sekarang Ayah memasak di dapur bukanlah masalah besar, walau hasilnya – ya…Parents bisa prediksi sendiri, ya.
Berkaitan dengan terminologi fatherless – kita sama-sama bisa mengetahui bagaimana hal ini membawa dampak yang berjangka panjang, dewasa pun bisa mengalami dampak ini:
- Rendah diri, rendah sekali untuk self-esteem
- Terkikisnya kepercayaan diri
- Anxiety, rasa cemas berlebihan
- Kemampuan akademik yang cenderung terus menurun
- Hubungan dengan pasangan begitu rumit
- Cenderung mengalami gangguan kejiwaan
- Berpotensi melakukan kenakalan
Begitu penting peran Ayah dalam keluarga. Ayah perlu andil dalam segala hal urusan rumah tangga, terlebih untuk pendampingan tumbuh kembang anak, karena Ayah sebaiknya:
- Perlu mengajarkan anak untuk menyelesaikan masalah
- Mengajarkan nilai-nilai hidup yang fundamental
- Mencontohkan tanggung jawab untuk segala kebutuhan
- Menerapkan moral, tatakrama, dan berbagai hal lain agar bertindak lebih bijak
Lalu, Bagaimana Jika Anak Menghadapi Kematian Ayahnya?
Kali ini, kita akan belajar bersama-sama Parents bagaimana sebaiknya jika anak menghadapi kondisi fatherless yang tercipta karena kematian sosok Ayah tersebut.
Memang, akan sedih sekali ditinggal sosok yang sangat penting di dalam kehidupan, dalam konteks fatherless – ditinggal sosok Ayah untuk selamanya.
Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan sabar memvalidasi segala perasaan yang ada. Baik perasaan sedih, perasaan kecewa, ragu, apapun perasaan itu – segala perasaan sebaiknya memang divalidasi, agar individu anak ini, bisa memahami kepergian tersebut.
Parents untuk mengetahui fatherless dengan lebih dalam, yuk kita bisa nonton video di bawah ini: