Kasus perceraian terus menimpa banyak selebriti Indonesia. Bukan hanya selebriti, ternyata masyarakat pun mengalami hal yang serupa. Dikutip Katadata, menurut laporan Statistik Indonesia, sebanyak 516.344 perceraian terjadi berdasarkan sejumlah faktor penyebab pada 2022.
Data itu menjelaskan, perselisihan dan pertengkaran menjadi faktor utama penyebab perceraian nasional sepanjang tahun lalu. Jumlahnya pun cukup mengejutkan, mencapai 286.169 kasus atau setara 63,41 persen dari total faktor penyebab kasus perceraian di Indonesia.
Apakah kasus perceraian sudah dianggap biasa bagi pasangan masa kini? Berdasarkan penjelasan Psikolog Klinis Dewasa, Ega Alfath, M.Psi, perceraian terasa hal biasa karena banyak kasus perceraian serta kasus perselingkuhan yang terekspos di media sosial.
“Eksposur media bisa menjadi referensi bagi seseorang yang sedang mengalami isu dalam pernikahannya. Opsi perceraian menjadi hal kuat yang bisa diambil. Berbeda dengan orang tua kita zaman dulu,” katanya saat dihubungi Parentalk.
Eits, jangan salah, sekarang ini ada juga perceraian yang dilakukan oleh pasangan berusia di atas 50 tahun, yang disebut Gray Divorce. Perceraian di usia senja yang sudah menikah puluhan tahun, dengan alasannya masing-masing. Kita sebut aja seperti Rieta Amilia, Lydia Kandou, Mark Sungkar, sampai Bill Gates.
Plus-minus maraknya kasus perceraian di zaman sekarang
Ega menjelaskan, pasangan zaman dulu menganggap perceraian itu aib, kegagalan, dan merusak nama baik keluarga besar. Zaman sekarang ini, perceraian adalah pilihan yang boleh diambil.
Kedua kondisi itu pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Kelebihannya, pasangan terus berusaha memperbaiki dan mempertahankan pernikahan. Kekurangannya, jika terjadi perilaku kekerasan berulang, bisa berdampak negatif bagi pasangan dan anak-anaknya.
Pilihan perceraian bisa saja menjadi tepat kalau upaya memperbaiki hubungan kerap mengalami jalan buntu, dan mulai berdampak negatif bagi pasangan dan anak-anak.
“Jangan memutuskan bercerai tanpa mengupayakan perbaikan terlebih dahulu. Seandainya perbaikan gak bisa dilakukan berdua dengan pasangan, mintalah bantuan profesional sebagai mediator,” jelas Ega.
Dengan bantuan profesional seperti psikolog klinis atau konselor pernikahan, kita dan pasangan lebih bisa menerima pandangan dan pemahaman dari pihak netral. Adanya mekanisme pertahanan diri yang sedang aktif di diri kita dan pasangan saat sedang berselisih, membuat kita saling menyangkal dan menyerang satu sama lain.
Mempertahankan pernikahan itu gak mudah, sangat tidak mudah. Meski kasus perceraian sudah mulai dianggap biasa, tapi perpisahan ini bisa menjadi pilihan yang gak tepat, jika gak ada upaya perbaikan terlebih dahulu.