Beberapa waktu lalu, anak pertama saya terjatuh dan kepalanya terluka saat menunjukkan trik bergelantungan teranyar kepada sang ayah. Ketika kecelakaan kecil itu terjadi, saya melihat suami tampak panik padahal selama ini ia termasuk sosok yang nyantai. Beruntung, kami dapat mengatasi situasi tersebut dan kini kondisi Si Kecil membaik.
Sebenarnya mudah saja bagi saya untuk menyalahkan suami bertubi-tubi. Yap, mudah sekali bila saya tidak pernah berada di posisinya. Namun, saya memilih untuk tetap menghargai pasangan saat ia berbuat salah meski sangat sedih melihat buah hati menangis kesakitan.
Empati membuat pengendalian diri lebih mudah
Saya pernah berada di posisi suami, yakni anak mengalami kecelakaan saat saya bertanggung jawab mengawasinya. Insiden pertama yang tak pernah saya lupa adalah ketika tangan si adik mengalami patah tulang karena terjatuh dari tempat tidur. Saat peristiwa itu terjadi, saya ketiduran selagi menjaganya. Kedua, belum lama ini, si adik tersandung dan terjatuh hingga membuat gusinya berdarah. Padahal, saya sedang mengekor di belakang Si Kecil.
Lantaran paham betul betapa tertekan menjadi sosok yang abai menjaga anak, saya pun mengajaknya berdisuksi tentang perasaannya. Saya berusaha menenangkan dan membesarkan hati suami pascaperistiwa itu. Sebagaimana hal yang juga selalu dilakukan suami sebelumnya.
“Rasanya pasti enggak enak banget, ya, anak terjatuh saat kita yang menjaga. Aku ngerti kok, gimana rasanya,” ujar saya membuka pembicaraan.
Kami pun bernostalgia peristiwa demi peristiwa kecelakaan kecil yang dialami anak-anak selama ini. Tak lupa, saya mengingatkan hikmah yang selalu ia lontarkan ketika saya menjadi pihak yang paling pantas disalahkan.
“Ini sudah takdir Allah SWT.”
Saya lalu menambahkan, “Siapa tahu peristiwa ini mencegah kita pada hal-hal yang lebih buruk lagi.”
Suami pun terlihat tergugah dan lega.
Setelah peristiwa dan pembicaraan dari hati ke hati itu, saya merasa ikatan kami sebagai suami dan istri semakin kuat.
Lebih baik fokus pada solusi ketimbang mencari kambing hitam
Bayangkan, apa yang terjadi jika saya berujar dengan ketus, “Kamu gimana, sih? Jagain anak enggak becus!”
Suami yang berlaku defensif dan nge-gas sudah pasti menjadi umpan balik. Kemungkinan saling menyalahkan juga bisa saja terjadi.
Hal yang menguatkan saya untuk tidak berlaku demikian adalah prinsip yang kami pegang selama ini, yakni tidak saling menyalahkan dalam mengasuh anak. Pasalnya, upaya mencari kambing hitam tentu tidak akan menyelesaikan masalah dengan efektif. Prinsip ini pula yang membuat kami menjadi orang tua solid dan kompak. Ketika masalah datang, kami pun saling mengingatkan untuk tidak terlarut dalam kekesalan dan fokus pada solusi.
Pertimbangkan dampak menyalahkan pasangan di depan anak
Praktisi Pendidikan Anak Edy Wiyono alias Ayah Edy juga mengingatkan para orang tua untuk menghindari tindakan saling menyalahkan karena tidak akan menyelesaikan masalah. Terlebih, bila aksi menyalahkan terjadi di depan anak, ia akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.
Solusi: Kita pasti punya andil setiap kesalahan yang terjadi dalam keluarga. Jadi, koreksilah diri sendiri dulu ketika ada dorongan menyalahkan pihak lain. Sebaiknya kita merenungkan pertanyaan, “Apa peran yang sudah saya berikan dalam proses pendidikan anak-anak saya selama ini?”
Upaya mengendalikan diri untuk tidak menyalahkan pasangan pun menuai manfaat besar bagi keharmonisan keluarga.
Referensi: Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah Diatur: 37 kebiasaan Orang Tua yang Menghasilkan Perilaku Buruk pada Anak oleh Edy Wiyono