Terkadang, lingkungan itu bisa berpengaruh sekali terhadap apapun, termasuk ke sebuah hubungan antara suami-istri. Padahal, apa yang lingkungan yakini menjadi stereotip – juga belum tentu benar.
Halo, Parents! Apa kabar hari ini? Semoga semuanya baik-baik saja, ya.
Dari prolog singkat di atas – bukan berarti kita akan misuh-misuh, ya. Hehe. Hari ini kita akan membahas sesuatu yang tidak kalah penting, tapi terkadang kita yang kalah oleh mereka, hehe. Begini, Parents – lingkungan terkadang bisa menjadi salah satu support system yang keren banget, tetapi juga bisa jadi beban yang berat banget.
Lho, maksudnya bagaimana ya? Kita sama-sama tahu Parents kalau lingkungan itu bisa mendukung dan bisa menjerumuskan. Sehingga, hal ini pun pada akhirnya bergantung pada kita setiap keputusannya, mau mengikuti mereka atau tidak.
Dianjurkan, kita semua mempunyai prinsip-prinsip hidup yang tidak goyah ketika bertemu dengan lingkungan yang kurang mendukung, ya. Jadi, kita tetap bisa menjalankan hidup sesuai dengan nilai-nilai yang kita yakini benar adanya.
Nah, bahasan kali ini – kita akan mengupas beberapa stereotip atau tanda yang dipercayai oleh lingkungan itu nilai yang baik-baik saja – padahal, aslinya tidak. Bahkan cenderung toxic, tapi dinormalisasi oleh mereka.
Wah, hal ini berat sekali sih – ibarat melawan sistem, jika tidak kuat – maka cepat atau lambat kita akan menjadi salah satu bagian dari sistem tersebut. Hal ini mengapa sebelumnya Parents dianjurkan untuk mempunyai prinsip hidup yang kuat.
Lalu, stereotip apa saja sih yang dianggap normal atau baik padahal toxic?
Putus-Nyambung di Sebuah Hubungan itu Normal
Apakah Parents setuju dengan pernyataan tersebut? Terlepas dari Parents setuju atau tidak – ternyata masih banyak yang menganggap bahwa hubungan yang kerap putus lalu nyambung lagi adalah hubungan yang baik. Hal tersebut diartikan bahwa dua orang yang menjalani hubungan cinta sejati akan terus ditakdirkan kembali bersama.
Padahal, kenyataannya, hubungan seperti bisa dikategorikan sebagai toxic relationship.
Anabel Basulto, terapis hubungan yang berlisensi dari California, Amerika Serikat – menyebut bahwa pola hubungan yang berulang, seperti putus-nyambung – menandakan sesuatu yang tidak baik.
Ia menambahkan bahwa pola berhubungan yang seperti itu menunjukan adanya rasa tidak puas dalam berhubungan. Sehingga, Anabel menyarankan jika ingin terlepas dari belenggu seperti itu, ada baiknya untuk mengambil jeda sejenak dari pola hubungan yang seperti itu.
Dalam jeda tersebut, Parents bisa lebih fokus ke diri sendiri terlebih dahulu. Tanyakan pada diri sendiri – bagaimana sih hubungan asmara yang ideal. Sehingga, kita semua bisa paham satu sama lain, karena baiknya sebelum memahami orang lain, kita bisa memahami diri sendiri terlebih dahulu.
Mengendalikan Perilaku Pasangan Dinilai Cinta
Parents, kita sama-sama sudah mengetahui bahwa hubungan yang sehat itu dibangun dengan rasa kepercayaan dan saling mengerti yang kuat. Dua hal tersebut jadi pondasi penting dalam sebuah hubungan. Tetapi, jika rasa tersebut akhirnya dibuat untuk mengendalikan pasangan alih-alih dasar cinta, hmm – sepertinya ada yang salah.
Masih dari Anabel Basulto, di mana ia menyatakan pengendalian perilaku atau berusaha mengendalikan cara berpikir akan berdampak pada rasa kepercayaan diri dan harga diri. Rentan sekali rasa kepercayaan diri akan pudar, bahkan risiko besarnya hilang.
Perempuan Mesti Mengasuh
Well, kita sudah sama-sama setuju bahwa pandangan ini adalah pandangan yang kurang tepat karena membuat salah satu sosok saja yang mempunyai beban partisipasi yang besar. Perempuan harus mengasuh adalah paham yang cukup lama sudah ada. Tetapi, stereotip seperti ini rasanya kurang tepat untuk diterapkan di zaman sekarang.
Hal ini berkaitan dengan partisipasi laki-laki dalam rumah tangga yang juga perlu diperhitungkan. Parents – tidak hanya perempuan yang menjadi sosok penting dalam pengasuhan, tetapi juga laki-laki. Sosok Ayah adalah sosok yang sama pentingnya dengan sosok Ibu dalam tumbuh kembang anak.
Segala Sesuatu Harus 50/50
Jika kita memahami benar-benar masing-masing dari pasangan, pastinya kita mengerti bahwasanya tidak segalanya harus 50/50. Usaha untuk sesuatu mesti benar-benar dihargai, karena bisa jadi pasangan kita sudah 100% melakukannya tetapi dengan hasil 30% saja.
Hal ini bisa saja terjadi, Parents – dengan banyak faktor, kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi. Maka, segala sesuatu harus 50/50 sepertinya terlalu kaku untuk diterapkan di zaman sekarang. Fleksibilitas pada pasangan sepertinya menjadi hal yang harusnya sudah dimengerti dari awal, dan menjadi salah satu pondasi penting untuk sebuah hubungan.
Nah, bagaimana nih Parents? Sudah paham ya beberapa stereotip yang dijelaskan di atas – sepertinya kurang tepat untuk diterapkan di zaman sekarang. Namun, hal ini juga kembali lagi ke diri kita masing-masing Parents – penilaian selalu ada di diri kita. Dengan mengembalikan semuanya personal, maka bahan untuk intropeksi pun semakin banyak, sehingga harapannya – kita bisa mengerti diri sendiri dengan matang, dan mengerti personal pasangan dengan matang juga.