Liburan panjang sudah selesai. Sepertinya banyak orang tua yang sudah sibuk ke toko buku, toko seragam sekolah, atau bahkan toko sepatu karena anak pingin yang serba baru.
Absen dulu yuk, siapa nih yang sudah sibuk mengurus persiapan anak sekolah lagi?
Kita sebagai orang tua, tentu punya concern atau perhatian yang sama: ingin anak mendapat pendidikan yang terbaik. Maka, mungkin kebanyakan dari kita melakukan banyak hal agar bisa memfasilitasi anak untuk pendidikannya.
Misalnya, mulai dari membelikannya buku-buku pengetahuan, memberikannya les tambahan, atau sampai mengejar sekolah-sekolah favorit. Tapi, terkadang kita melewatkan si anak sendiri. Mungkin, kita bahkan tidak bertanya kepada anak mau mengikuti jenjang pendidikan yang seperti apa.
Atau, ini kerap terjadi – bahkan terkadang kita memaksakan anak untuk masuk ke jenjang pendidikan, Sekolah Dasar misalnya – walau secara umur belum cukup, tetapi karena beberapa hal yang terkait kepada diri kita sebagai orang tua – kita memaksakan anak masuk SD.
Aduh, sudah panjang lebar tetapi lupa sapa Parents, nih.
Hai hai Parents, apa kabar hari ini? Semoga selalu dalam kesehatan yang baik dan segala urusannya diperlancar, ya – termasuk urusan si kakak dan adik yang masuk SD atau jenjang pendidikan lainnya.
Parents, di bahasan kali ini kita akan mengulas soal momentum anak masuk sekolah lagi, terutama di jenjang pendidikan sekolah dasar, ya.
Walau tidak semua orang tua, tetapi ada sebagian yang ternyata memaksakan anaknya untuk masuk SD. Walau pada akhirnya si anak ya masuk saja ke sekolah tersebut dan menjalani hari-harinya seperti biasa, tetapi ada risiko di balik semua hal ini.
Risiko Paksa Anak Masuk SD
Parents, sebagai orang tua, kita perlu mengetahui bahwasanya ada beberapa risiko yang berpotensi terjadi ketika kita memaksakan anak untuk masuk SD.
Misalnya, dari segi umur yang dinilai belum cukup – tetapi kita paksakan. Samanta Elsener, Psikolog anak dan keluarga dari Himpunan Psikologi Indonesia, mengatakan bahwa usia minimal masuk sekolah dasar juga mengikuti kesiapan anak untuk berbaur dengan lingkungan baru.
Memang, pada umumnya, rata-rata usia anak masuk SD adalah 6 tahun sampai 7 tahun dan kesiapannya bisa dilihat dari hasil psikotes.
Tapi, kalau kita paksakan, anak berkemungkinan:
- Menunjukan sikap malas ke sekolah dan belajar
- Merasa tertekan
- Murung, bahkan kerap menyendiri
- Menunjukan rasa cemas berlebihan
- Depresi
Parents, sayangnya – risiko-risiko tersebut terkadang bisa kita ketahui saat guru di sekolah sudah mengeluhkan prestasi anak di kelas menurun. Bahkan, adanya laporan kalau anak berbuat ulah di sekolah.
Padahal, hal-hal ini sebenarnya sudah bisa terlihat dari awal, Parents, dan ini menunjukan kalau anak memang secara mental dan kognitif belum siap menerima hal-hal baru dari sekitar.
Sehingga, hasil psikotes jadi salah satu benchmark atau minimal acuan untuk kita sebagai orang tua untuk mengetahui psikososial dan emosional anak sudah siap atau belum untuk mengikuti kegiatan belajar di sekolah.
Menurut Psikolog…
Samanta mengimbau kepada para orang tua untuk melakukan persiapan ekstra. Seperti apa persiapan tersebut?
Parents bisa mengajak anak untuk berinteraksi dengan banyak orang di ruang terbuka. Minimal 2-3 orang lebih. Hal ini akan menstimulasi anak untuk berbaur dengan lingkungan yang baru.
Nah, di saat yang bersamaan – Parents juga perlu berbaur dengan orang tua murid lainnya. Hal ini penting untuk silaturahmi dan mencegah adanya perundungan antar anak. Banyak kasus perundungan masih kerap terjadi, apalagi di lingkungan sekolah.
Samanta menambahkan kalau Parents perlu lho menilai apakah anak sudah lulus toilet training atau sudah bisa mengenakan baju dan sepatu sendiri. Beberapa hal tersebut adalah kemampuan umum yang perlu diterapkan oleh anak.
Beri Contoh Untuk Terbuka
Bagian ini tidak kalah penting, Parents. Salah satu hal yang perlu Parents contohkan adalah mengajak ngobrol, diskusi, bisa tentang apapun terutama hal yang terjadi di sekolahnya. Harapannya anak jadi terbuka, Parents.
Keterbukaan anak adalah salah satu kunci berhasilnya Parents berkomunikasi dengan anak. Dengan terbuka, Parents bisa mengetahui keadaan anak seperti apa dan tahu apa yang Parents bisa lakukan selanjutnya.
Bagaimana Parents, sudah cukup jelas ya – walau memang ada risikonya, tetapi ada juga hal-hal atau langkah lain yang bisa dilakukan untuk minimal menghindari risiko-risiko yang ada saat memaksakan anak untuk masuk SD.