Indonesia yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia membuat negara ini memiliki biodiversitas yang begitu beragam, termasuk persepsi yang kental akan nilai budaya dari masing-masing keberagaman tersebut.
Keberagaman persepsi yang terinjeksi dengan nilai budaya luhur, pastinya akan bergesekan dengan nilai-nilai budaya modern. Nilai budaya modern umumnya terkait dengan isu-isu kebebasan, sementara nilai budaya luhur pada umumnya terikat dengan pakem atau aturan-aturan tertentu.
Dengan begitu, pergesekan di berbagai nilai tentu rentan terjadi. Apalagi di persepsi khusus yang dinilai mempunyai kadar sakral yang tinggi, seperti pernikahan. Ada banyak sudut pandang terkait pernikahan. Masing-masing dari sudut pandang tersebut, tentu mempunyai acuan-acuan tersendiri.
Eh, sampai lupa untuk menyapa Parents semua. Halo, Parents! Apa kabar semuanya? Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja, ya.
Dari prolog di atas, sudah diprediksi bahasan kali ini akan cukup panjang dan komprehensif, serta dalam.
Pernikahan adalah hal yang begitu kompleks, mungkin sebagian dari kita sekarang ini menganggap pernikahan adalah hal yang sederhana – tidak apa-apa, semua persepsi boleh-boleh saja. Masalah benar atau tidak, hal ini relatif.
Parents, yang sudah kita ketahui bersama bahwa pernikahan pada kenyataannya tidak terus-menerus tentang hal-hal yang menyenangkan saja, tetapi hal-hal yang tidak menyenangkannya juga. Permasalahan yang kerap terjadi adalah ketidaksiapan masing-masing individu dalam pasangan untuk menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan itu.
Bicara soal kesiapan atau ketidaksiapan individu dalam mengarungi bahtera rumah tangga, hal fundamental yang kerap kali dianggap remeh adalah soal kesiapan mental. Jika kita tarik bersama dari prolog di atas, mungkin hal ini kerap terjadi karena nilai budaya yang mempunyai pakem-pakem tersendiri, di mana persiapan materi jadi hal yang difokuskan terlebih dahulu.
Sehingga, fokus untuk mempersiapkan mental, terkadang tersisihkan. Persiapan yang kurang komplet ini kerap menjadi salah satu penyebab perselisihan yang tidak terselesaikan, malah tidak sedikit yang selesai di meja hijau.
Berdasarkan laporan Statistik Indonesia, pada tahun 2022 lalu, sebanyak 516.344 kasus perceraian terjadi.
Asumsi banyak masyarakat menanggapi penyebab kasus ini adalah faktor ekonomi. Padahal, tidak juga. Masih dari laporan yang sama, penyebab utama dari besarnya kasus perceraian di Indonesia tahun 2022 lalu adalah perselisihan dan pertengkaran (63,41%).
Penyebab lainnya seperti faktor ekonomi (24,75%) dan meninggalkan pasangan (8,78%) – jika mau melihat perbandingan dari angka persen, jelas perselisihan dan pertengkaran adalah faktor utama perceraian terjadi di Indonesia tahun 2022 lalu.
Dari paparan data di atas, insight yang bisa kita tarik bersama adalah kemampuan pasangan untuk menyelesaikan masalah masih minim. Baik dari segi kognitif atau bahkan dari segi mental, semuanya tidak siap secara optimal.
Sehingga, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana persiapan sebelum pernikahan itu dilakukan?
Hal menarik lainnya yang bisa kita ketahui bersama dan bersinggungan dengan paparan data di atas adalah angka pernikahan yang semakin ke sini semakin turun.
Badan Pusat Statistik (BPS) – dari data tahun 2023, di mana mayoritas anak muda Indonesia (68,29%) berstatus belum kawin dari jumlah total pemuda di Tanah Air pada Maret 2023. Sementara itu, jumlah yang sudah berstatus kawin (30,61%).
Mengutip penelitian Riska dkk., BPS menyebut bahwa ada beberapa faktor lain yang menjadi fokus anak muda sekarang ini. Seperti mengejar kesuksesan dalam pendidikan dan karir, serta berkurangnya tekanan dari lingkungan sosial yang memengaruhi keputusan generasi muda ini.
Dari data ini, kita bisa melihat adanya pergeseran paham atau idealisme terjadi. Jika kita tarik lagi ke prolog di atas, maka mungkin sudah banyak yang sadar bahwa persiapan pernikahan tidak lagi selalu berfokus ke materi (walau ini tidak bisa disisihkan juga) tetapi juga persiapan pematangan masing-masing individu.
Artinya, persepsi yang kental akan pakem-pakem terikat nilai budaya, bukan lagi menjadi hal utama yang dipikirkan (walau hal ini tidak juga disisihkan secara keseluruhan). Sehingga, persiapan lain selain persiapan materi, menjadi penting buat mereka.
Lagipula, jika pernikahan dipersepsikan sebagai penyatuan dua insan, apalah arti dari perpisahan?
Bagian selanjutnya yang menarik untuk dibahas adalah cara bertahan.
Ega Alfath, M.Psi., Psikolog, dilansir dari Kumparan, ada tiga formula yang begitu mendasar:
Sadar, Tahu, dan Mau
Tiga formula tersebut merupakan salah satu fundamental yang perlu diperhatikan dan dikombinasikan ke langkah-langkah yang strategis. Seperti:
- Bisa meregulasi emosi. Bahkan mengidentifikasi emosi terlebih dahulu, masing-masing individu bisa melakukan ini sebelum bertemu untuk menyelesaikan masalah.
- Mampu melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang. Perspektif akan memengaruhi persepsi, hal ini yang perlu kita ketahui dan terapkan bersama. Harapannya, kita jadi paham bahwa setiap individu terlibat dari permasalahan yang ada. Sehingga, tidak main melimpahkan ‘kesalahan’, Parents.
- Secara kebersamaan, mencari solusi. Hal ini adalah salah satu langkah strategis yang perlu diterapkan bersama, Parents. Langkah ini adalah bentuk sinergi yang baik dari langkah-langkah sebelumnya. Harapannya, dari poin ini, pasangan bisa menemukan titik temu yang membuat nyaman semua pihak.
Dari berbagai data di atas…
Jadi, Parents, kita bersama tahu bahwa pernikahan adalah hal kompleks yang perlu persiapan yang luar biasa lengkap. Dengan harapan, setiap pasangan punya kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang komprehensif.
Sehingga, data angka perceraian di tahun berikutnya diharapkan bisa turun secara bertahap.
Nah, Parents…
Di bawah ini, ada cerita seru dari Parentalk. Bu Puty dan narasumber menceritakan hal-hal terkait dengan perpisahan. Anyway, siapa sih yang mengharapkan perpisahan?
Untuk selengkapnya, sila nonton video di bawah ini, ya.