Pernikahan, pada umumnya bersifat sakral. Penyatuan atau pengikatan dalam pernikahan membuat dua individu akan terus bersama, sampai kematian yang memisahkan. Begitu sakralnya sampai persiapan pernikahan begitu banyak macam dan ruwetnya, terlebih di Indonesia, di mana pernikahan, biasanya terkait sekali dengan berbagai nilai-nilai budaya.
Dengan segala macam persiapannya, ada konstruksi sosial yang sangat kuat, menurut banyak paham dari konstruksi sosial tersebut – idealnya, pernikahan seharusnya terjadi di umur 25. Tapi, apakah kita sebagai pelaku, setuju kalau pernikahan bergantung dengan umur?
Halo, Parents! Semoga kabar hari ini selalu baik-baik saja dan sehat-sehat terus, ya.
Dari judul dan prolog di atas, topik bahasan kali ini sangat mudah menuai pro dan kontra. Artinya, topik bahasan kali ini mudah sekali untuk dilihat dan dibahas dari berbagai sudut pandang. Kali ini, kita akan bahas topik ini dari sudut pandang kita saja ya, Parents.
Sudut pandang netral, yang tidak menjustifikasi hal ini benar atau salah.
Memang, sih, konstruksi sosial adalah sebuah tantangan yang akan terus dihadapi oleh banyak anak muda atau generasi selanjutnya. Konstruksi sosial sendiri terbuat dari paham-paham yang sudah ada dari dulu, di mana nilai budaya, agama, dan sosial, melebur di dalamnya.
Sehingga, cukup berisiko untuk menabrak konstruksi sosial, terlebih soal pernikahan.
Tetapi, jika kita telisik lebih dalam dengan sudut pandang yang netral, apakah pernikahan bergantung dengan umur? Lalu, mengapa harus di umur 25 untuk bisa mencapai segalanya, termasuk pernikahan?
Parents, kita kupas perlahan bahasan kali ini, ya.
Masih Adakah Pernikahan Dini?
Dari katadata yang melansir data dari laporan Badan Pusat Statistik 2022, ternyata masih ada pernikahan dini. Rata-rata, usia atau umur pernikahan pertama anak muda tersebut terjadi pada umur 16-18 tahun.
Bahkan, ada yang menikah pada usia kurang dari 15 tahun.
Data dari goodstats juga mendukung data sebelumnya, di mana dari 750 responden yang lahir pada tahun 1997-2012 memilih menikah pada rentang usia 10 – 25 tahun. Mayoritas bahkan masih menjalani Pendidikan Menengah Atas.
Tapi, apakah pernikahan dini ini dianjurkan? Lembaga pemerintahan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional atau BKKBN merekomendasikan usia menikah untuk laki-laki minimal 25 tahun dan untuk perempuan minimal 21 tahun.
Rekomendasi ini juga berdasar beberapa pertimbangan, seperti:
- Usia psikologis yang masih tergolong labil akan memengaruhi pola pengasuhan anak
- Kematangan usia dan mental bisa berdampak pada gizi serta kesehatan
- Risiko kesehatan yang tinggi bisa terjadi akibat pernikahan dan kehamilan dini
- Adanya potensi kanker leher Rahim atau kanker serviks pada remaja perempuan di bawah 20 tahun ketika melakukan hubungan seksual.
Tapi, seiring berjalannya waktu, ada pergeseran yang terlihat signifikan. Tren pernikahan anak muda semakin turun pada akhir-akhir ini.
Badan Pusat Statistik atau BPS melaporkan, dari tren yang terjadi ini, mayoritas anak muda Indonesia berstatus belum kawin, sebanyak 68,29 persen dari total seluruh pemuda di Tanah Air pada Maret 2023.
Terkait data yang menarik ini, Riska dkk., pada penelitiannya dengan BPS menyebut bahwa adanya faktor-faktor seperti:
- Keinginan mengejar pendidikan dan karir
- Mengembangkan diri
- Berkurangnya tekanan dari lingkungan sosial
Beberapa faktor di atas, ternyata memengaruhi keputusan generasi muda untuk menunda pernikahan. Insight yang bisa ditarik dari data ini adalah ternyata konstruksi sosial bisa jadi sudah tidak menjadi momok atau beban bagi anak muda mengejar status sukses dengan label menikah pada umur 25.
Mengetahui bahwa faktor-faktor tersebut adalah alasan dari berbagai anak muda Indonesia saat ini, lain halnya dari VICE Indonesia yang berhasil menangkap beberapa alasan lain, terkait tren pernikahan di Indonesia yang menurun.
Dilansir dari VICE Indonesia, Dosen Psikologi Universitas Pelita Harapan Karel Karsten Himawan menilai bahwa peningkatan angka anak muda, khususnya anak muda perempuan yang belum dan bahkan tidak ingin menikah dipengaruhi oleh pergeseran nilai yang bersifat ekonomi.
Menurut Karel, ambisi membangun jenjang karir, mengesampingkan konstruksi sosial yang menganggap perempuan hanya mengurus rumah tangga saja, dan tenggelam dalam segala kesibukan, adalah beberapa alasan anak muda perempuan saat ini.
Masih dari VICE Indonesia, berikut beberapa alasan yang dikeluarkan anak muda Indonesia:
- Merasa belum layak berkomitmen
- Tidak takut untuk kesepian
- Melihat kerumitan pada yang sudah menikah
- Menjadi korban pelecehan seksual
- Dimanfaatkan secara finansial
- Mendapat pola pengasuhan yang buruk dan takut jadi orang tua
Dari berbagai alasan yang sudah disebutkan di atas, banyak sekali yang sebelumnya menebak bahwa faktor ekonomi adalah kunci atau biang keladi banyak anak muda akhirnya menunda pernikahan mereka, dan tidak masalah jika pernikahan tersebut tidak terjadi pada umur 25 mereka.
Faktor internal yang begitu mendalam, khususnya kesehatan fisik dan mental, ternyata menjadi salah satu ganjalan mengapa anak muda Indonesia sekarang ini menunda pernikahan. Walau begitu, setidaknya kita sama-sama mengetahui bahwa generasi sekarang dan selanjutnya begitu peduli dengan kesehatan fisik dan mental mereka sendiri.
Hal ini tentu ada baiknya, tetapi tidak ayal menimbulkan pro dan kontra dari perspektif lain.
Parents, agar perspektif kita semakin matang, yuk simak obrolan di bawah ini: