Pernah dengar kalimat seperti ini:
“Duh, pantes deh anaknya begitu, soalnya dulu orang tuanya gitu juga”.
Memang sih, anak itu somehow tergantung orang tuanya seperti apa. Tetapi, apakah sampai sebegitunya pengaruh genetik?
Halo, Parents! Apa kabar hari ini? Semoga selalu dalam kesehatan yang baik, serta dilancarkan segala urusannya, ya.
Dari judul dan prolog singkat di atas, sudah terbaca ya kali ini, kita akan membahas soal pengaruh genetik terhadap anak.
Sebelum kita mengulas topik ini lebih dalam, kita perlu sama-sama satu paham dulu nih Parents – kalau genetik adalah sesuatu yang bisa diturunkan dari generasi ke generasi. Contohnya, bentuk hidung anak bisa saja mirip dengan Bapaknya atau Ibunya.
Atau, ngambeknya anak sepertinya turun dari Ibunya. Hehe. Bercanda ya, Parents. Kalau memang benar adanya, ya mau bilang apa dong? Hihi.
Nah, ada yang menarik soal genetik terhadap perkembangan anak dari rentang usia dua sampai empat tahun. Ada sebuah penelitian yang mengatakan kalau dalam rentang usia tersebut, pengaruh genetik begitu kuat di tumbuh kembang anak.
Dari Penelitian Para Ahli
Jadi Parents, belum lama ini, ada penelitian yang dilakukan oleh para ahli. Mereka atau para ahli yang berpayung di University of York di Inggris, menemukan bahwa anak-anak yang belum sekolah, tumbuh kembangnya cenderung kuat dipengaruhi oleh faktor genetik.
Para ahli atau peneliti, melihat bahwa anak-anak dengan rentang usia seperti itu, secara aktif, memilih, membentuk, dan mencetak pengalaman mereka disesuaikan dengan kecenderungan genetik mereka.
Jadi, tumbuh kembang anak tidak dipengaruhi oleh pola asuh orang tuanya?
Parents, pertanyaan di atas berpotensi memunculkan perdebatan, tetapi, genetik dan pola asuh, sepertinya tipis sekali separasinya.
Dikutip dari Neuroscience, Prof von Summ dan peneliti lainnya menunjukan bagaimana gen dan pola asuh serta lingkungan bertindak sebagai kekuatan gabungan. Hal ini diperjelas dengan temuan mereka yang menggambarkan saudara kandung yang berkembang di rumah yang sama, dapat memiliki kecenderungan perilaku, perkembangan emosional, dan kemampuan belajar yang sangat berbeda.
Di tempat yang berbeda, ada studi di Inggris dan Wales yang menggunakan data dari Twins Early Development, di mana ada temuan yang menunjukan perkembangan kognitif dari anak yang kembar bisa berbeda, baik dari verbal ataupun non-verbalnya.
Sehingga, bisa ditarik kesimpulan sederhana bahwa, genetika memang memengaruhi tumbuh kembang anak di rentang usia dua sampai empat tahun itu.
Dr. Alexandra Starr, peneliti dari University of York, menjelaskan bahwa lingkungan rumah, apapun yang terjadi di dalam lingkungan rumah, akan begitu penting untuk perkembangan dini otak anak. Hal ini akan mengarah kepada hasil penelitian lain yang menunjukan pencapaian pendidikan serta kesuksesan karir akan berpengaruh dari bagaimana tumbuh kembangnya di usia dini.
Sedikit Penjelasan Teknis
Jadi Parents, para peneliti menggunakan metode yang dinamakan skor poligenik. Skor poligenik ini menangkap varian DNA yang diturunkan dari orang tua ke anak-anak. Tujuan dari metode ini adalah untuk mengetahui perkembangan kognitif dan faktor lingkungan pada tumbuh kembang anak.
Menurut Dr Starr, jika kita bisa memahami perbedaan yang terjadi pada anak di awal kehidupannya, kita akan mampu mengidentifikasi masalah anak-anak dan bisa menemukan solusinya sesegera mungkin.
Misalnya, kita bisa menggunakan DNA untuk mengidentifikasi anak-anak yang memiliki risiko genetik mengalami masalah membaca. Sehingga, kita bisa melakukan tindakan preventif sebelum terjadinya perilaku maladaptive, seperti menghindari buku.
Pada Kenyataannya…
Parents, walau secara teori dan hasil penelitian mengungkapkan bahwa faktor genetika adalah salah satu faktor kuat dalam menentukan tumbuh kembang anak, tapi pada kenyataannya, tidak hanya bergantung pada faktor genetika saja.
Faktor asupan gizi dan lingkungan sosial, adalah beberapa faktor yang juga dinilai mempunyai andil penting untuk tumbuh kembang anak. Sehingga, walau kita mengetahui, nih – kalau genetika anak, sesuatu yang kita turunkan ke mereka, misalnya kurang baik value-nya, kita bisa menghindari hal-hal tersebut, dengan faktor lainnya.
Seperti asupan gizi dan lingkungan sosial. Fundamentalnya adalah asupan gizinya, Parents. Kalau misalnya dulu – Parents saat kecil tidak diperhatikan asupan gizinya oleh orang tua, maka sekarang adalah saat yang sangat tepat untuk begitu memerhatikan asupan gizi yang akan diterima anak kita.
Dengan harapan, tumbuh kembang yang lebih baik.
Parents, tentu sudah akrab dengan konstruksi sosial yang bilang:
“Anak mesti lebih baik daripada orang tuanya nanti”
Hal ini bisa jadi benar, tapi bisa jadi…anak yang akan menentukannya sendiri. Pada akhirnya, kita juga sama-sama memahami, bahwa anak akan mempunyai kehidupannya sendiri, di mana kita sebagai orang tua, hanya akan menjadi referensinya saat menjalani kehidupan tersebut.
Parents setuju?