Siapa yang merasa nyaman melihat anak menangis karena merasa sedih, kesal, dan kecewa? Ketika melihat seorang anak yang menangis, banyak orang dewasa yang secara refleks berupaya menghentikan tangisannya. Mungkin hanya segelintir orang tua yang membiarkan anak menangis.
“Jangan nangis, ya. Cup…cup…cup…”
“Udahan nangisnya, dong…”
Belum lagi, adanya upaya memberikan julukan negatif seperti ‘cengeng,’ ‘manja,’ ‘kayak bayi,’ ‘penakut,’ dan sebagainya yang dapat berdampak terhadap rasa percaya diri anak
Tak jarang, luapan emosi turut mengiringi karena Ayah atau Ibu merasa sudah tak tahan lagi mendengarkan tangisannya.
“Ayah bilang diaaaaaam!”
Anak mungkin saja langsung terdiam atau mau menuruti dengan sedikit isak tangis. Tapi, tahukah, Ayah dan Ibu, upaya-upaya tadi ternyata dapat berpengaruh terhadap perkembangan emosi, bahkan kesehatan si kecil?
Larangan menangis sampaikan pesan yang salah
Tangisan memang lekat dengan keseharian anak-anak balita. Soalnya, mereka belum mampu mengutarakan perasaannya secara jelas lewat kata-kata. Menurut Direktur Layanan Bantuan Keluarga Mailman Segal Institute for Early Childhood Studies, Debbie Glasser, Ph.D., kecenderungan orang tua untuk melindungi anak dari perasaan sedih atau takut memang hal yang alamiah.
“Namun, perintah ‘jangan menangis’ justru tidak membuat anak merasa lebih baik. Upaya tersebut juga mengirimkan pesan bahwa merasa sedih atau takut adalah hal yang salah,” jelas Glasser seperti dilansir CNN.
Anak akan belajar mengelola emosi
Sementara itu, blogger yang juga master di bidang psikologi klinis asal Australia, Sara, memberikan cara pandang berbeda. Menurutnya, menangis adalah hal yang pantas.
“Apapun hal yang membuat si kecil sedih adalah sah-sah saja. Mungkin hal itu sepele bagi Anda, tapi seorang anak tidaklah memiliki cara pandang orang dewasa tentang dunia,” jelas Sara dalam blog-nya, happinessishereblog.com.
Ia berpendapat, sebaiknya orang tua tidak mengajarkan anak-anak untuk menenangkan perasaannya demi orang lain.
“Pada akhirnya mereka akan belajar aturan-aturan sosial yang tak terucap itu. Suatu saat nanti, anak-anak mengetahui cara mengekspresikan perasaan mereka dengan ‘pantas’ menurut orang dewasa. Kita sebaiknya mendukung perkembangan anak untuk menata emosi. Caranya dengan bersikap empati dan berusaha memahami, bukan membungkamnya,” jelas ibu dari empat anak ini.
Cara menunjukkan empati
Pendapat Sara diamini oleh doktor di bidang psikolog konseling dari State University of New York, Jeffrey Bernstein, yang berpendapat bahwa upaya memvalidasi perasaan anak akan membuatnya merasa dimengerti. Orang tua juga sebaiknya mengesampingkan ego untuk menceramahi si kecil.
“Upaya memvalidasi perasaan anak mengartikan Anda tidak menghakimi dan mengakui perasaannya. Anda akan menyampaikan pesan: ‘Perasaan kamu dapat dimengerti. Ayah/Ibu tak hanya mengizinkan kamu untuk merasakan apa yang kamu rasakan, tapi juga menerimanya dengan cara yang tak menghakimi,” jelas Dr. Bernstein seperti dilansir Psychology Today.
Empati yang mendalam akan membangun harga diri anak dan mengurangi perilaku membangkang. Ini karena perilaku tersebut kerap menjadi cara berkomunikasi anak-anak yang merasa tidak mendapatkan pengertian dari orang tuanya.
Lalu, empati seperti apa yang bisa ditunjukkan pada anak ketika ia menangis? Apa saja perkataan yang perlu dihindari untuk menjaga perasaan si kecil? Selengkapnya dalam artikel Hal yang Dilakukan Saat Anak Menangis.
Referensi:
- “10 Things to Say Instead of ‘Stop Crying’” pada Happiness Is Here
- “9 things you shouldn’t say to your child” pada CNN
- “Five Easy, Powerful Ways to Validate Your Child’s Feelings” pada Psychology Today
(Febi/ Dok. Pixabay)