Belakangan, rational use of medicines (RUM) kian gencar dikampanyekan, tak terkecuali oleh Kementerian Kesehatan. Selain pemerintah, lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan Orang Tua Peduli atau YOP juga aktif mengampanyekan RUM lewat website, milis, media sosial, juga seminar. Sebenarnya apa sih, penanganan anak sakit berprinsip RUM itu?
RUM, terapi obat yang sesuai kebutuhan
RUM atau pengobatan rasional berarti pasien mendapatkan obat-obatan yang tepat dengan kebutuhan klinisnya. Pengobatan tersebut juga haruslah dalam dosis sesuai kebutuhan perorangan untuk periode waktu yang memenuhi syarat. Selain itu, pengobatan rasional haruslah semurah mungkin bagi pasien maupun komunitasnya (WHO, 1985). Singkatnya, RUM bukan berarti antiobat, melainkan tahu persis saatnya penyakit membutuhkan terapi obat.
Menurut Grup Sehat, situs yang dikelola oleh YOP, pengobatan yang tidak rasional sudah menjadi masalah dunia. Bentuk-bentuk pengobatan yang tidak rasional, di antaranya
- penggunaan terlalu banyak obat pada tiap pasien (polifarmasi),
- penggunaan antibiotik yang tidak tepat mulai dari dosis sampai sasaran penggunaannya (misal, untuk infeksi yang bukan disebabkan oleh bakteri),
- pengobatan yang berlebihan untuk penyakit ringan,
- pengobatan yang tidak adekuat dari penyakit serius,
- penggunaan obat injeksi/suntik yang berlebihan saat obat minum lebih tepat,
- ketidaksesuaian peresepan dengan panduan klinis yang berlaku, dan
- pengobatan sendiri yang tidak tepat, misal pembelian obat yang semestinya berdasarkan resep dokter.
Mencegah resistensi bakteri jahat
Menurut Dokter Spesialis Anak Purnamawati yang juga pendiri YOP, banyak pasien yang menebus obat yang tak perlu. Seperti antibiotik untuk ‘penyakit langganan anak’ yang disebabkan oleh virus seperti diare, roseola, salesma, dan common cold (sering kali disebut flu). Padahal, antibiotik berfungsi untuk melawan bakteri yang menjadi sumber penyakit. Belum lagi, adanya kebiasaan tidak menghabiskan antibiotik sesuai anjuran pakai. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat seperti ini justru membunuh bakteri baik pada tubuh dan sebaliknya, memperkuat bakteri jahat. Dampak terburuk, ketika anak tertular superbugs alias bakteri yang super resisten, tak ada antibiotik yang bisa melawannya.
Penyakit yang disebabkan virus ‘sembuh sendiri’
Selain itu, menurut dr. Wati, ‘penyakit langganan anak’ yang disebabkan oleh virus sejatinya sembuh sendiri seiring dengan meningkatnya daya tahan tubuh si kecil. Karena itulah, penggunaan obat sebenarnya hanya bersifat mengurangi gejala dan tidak akan langsung menghilangkan penyakit ringan yang disebabkan virus.
Biasanya penyakit yang disebabkan oleh virus semakin jelas dalam tiga hari atau 72 jam. Sebelum kurun waktu tersebut, dokter akan kesulitan menetapkan diagnosis penyakit karena kumpulan gejalanya belum memadai. Ingat, gejala bagaikan kepingan puzzle untuk menegakkan diagnosis suatu penyakit.
Fokus pada diagnosis dan kritis
Wait and see approach pun lebih tepat diberlakukan saat anak sakit sambil memantau tanda-tanda gawat darurat seperti dehidrasi, napas capat, anak tidak bisa berkomunikasi, dan sebagainya.
Kalaupun orang tua merasa perlu ke dokter, tanamkan tujuannya ke sana adalah untuk menegakkan diagnosis, bukan menyembuhkan penyakit dengan segera karena hal tersebut mustahil dilakukan.
Bersikaplah kritis jika dokter meresepkan lebih dari dua obat. Minta pula penjelasan mengenai cara kerja masing-masing obat beserta efek sampingnya.
“Di industri kesehatan, sebesar lima puluh persen penanganan tidak diperlukan dan tidak efektif. Hal ini kerap terjadi pada orang Indonesia karena tidak membaca panduan kesehatan maupun enggan menerapkan wait and see approach,” jelas dokter anak yang akrab disapa dr. Wati ini pada seminar Program Edukasi Kesehatan Anak untuk Orang Tua (PESAT) ke-17.
Karena itulah, orang tua perlu pula mempertimbangkan dampak dari segala tindakan medis. Mulai dari efek samping obat, trauma pada anak, sampai pengaruh infus terhadap kinerja jantung. Diskusikan bersama dokter soal pertimbangan risiko versus manfaat dari tindakan medis yang disarankan. Jika risikonya lebih besar, untuk apa dijalankan?
(Febi/ Dok. Pixabay)