Pasca perceraian terkadang masih meninggalkan kita luka yang membuat situasi sulit. Tanpa disadari kerap menimbulkan emosi negatif yang memberikan dampak buruk pada Si Kecil.
Biasanya kita tahu apa aja kegiatan pasangan, melihat dia setiap pulang ke rumah meski ujungnya bertengkar, begitu berpisah kita udah nggak berhak untuk tahu banyak hal tentang dirinya. Apakah dia punya pacar? Apakah hidupnya lebih bahagia atau sengsara?
Setelah perceraian akan ada hak asuh anak dan jadwal pertemuan anak. Hanya Si Kecil yang masih dekat dengan mantan pasangan kita. Mungkin Si Kecil bisa tahu banyak tentang Sang Mantan karena dia masih sering bertemu ataupun tinggal di rumahnya.
Keadaan itu, secara nggak sadar membuat kita menjadikan anak sebagai ‘agen rahasia’. Menurut psikolog anak, Samanta Elsener, M.Psi., Psikolog, emosi negatif yang belum tuntas pasca perceraian berisiko memberikan dampak pada perkembangan psikologis anak.
“Apalagi kalau anak dijadikan ‘agen rahasia’ oleh orang tuanya. Ini menunjukkan betapa insecure orang tua yang berpisah dan belum menyelesaikan emotional baggage (beban emosi) pasca perceraian terjadi,” tulisnya dalam akun Instagramnya.
Parents, yang sedang mengalami fase ini, Bumin harap bisa menyembuhkan luka hati dengan baik, ya. Ini memang membutuhkan waktu mungkin bisa sangat lama atau cukup cepat, setiap orang punya proses pemulihan yang berbeda.
Oleh karena itu, supaya nggak memperkeruh keadaan dan semakin membuat hati Si Kecil sedih, bisa dimulai dari menjaga pertanyaan yang dilontarkan ke anak. Berikut hal terlarang yang ditanyakan ke anak pasca perceraian.
“Ayah bilang apa tentang Ibu?” / “Ibu suka ngomongin tentang Ayah, nggak?”
Parents, menanyakan hal ini akan membuat Si Kecil merasa bingung dan nggak nyaman. Dia yang belum memahami masalah orang dewasa, pasti akan merasa serba salah atas sikapnya. Anak belum memiliki kemampuan untuk ikut terlibat dalam masalah orang tua.
Apalagi kalau ternyata, Si Kecil menyampaikan apapun yang diketahuinya dan membuat mantan pasangan kita marah dan bertengkar. Si Kecil pasti akan merasa bersalah.
“Kamu kok jadi susah diatur kalau habis dari rumah Ayah/Ibu?”
Bisa jadi Si Kecil sebenarnya melakukan sikap yang lumrah dilakukan anak-anak pada umumnya. Misalnya susah untuk mandi karena asik bermain, atau nggak mau makan karena lagi nggak berselera.
Berhubung itu terjadi setelah anak bertemu dengan mantan pasangan, lalu kita berasumsi itu membuatnya jadi susah diatur. Hal ini akan membuat anak merasa bersalah, ia mengira bahwa bertemu dengan orang tuanya bisa membuat dirinya berubah ke arah yang kurang baik.
“Keluarga Ibu ngomongin Ayah yang jelek-jelek, ya?”
Dengan begini, Si Kecil jelas akan tahu bahwa hubungan keluarga orang tuanya nggak akur. Apakah kita tega melihat anak mengadu hal negatif tentang keluarganya? Jadi Parents, kita perlu hindari hal ini, ya.
Hindari memasukkan Si Kecil dalam lingkaran negatif yang membuatnya merasa sedih, menganggap bahwa orang tua dan keluarganya saling bermusuhan.
“Nangis terus tiap habis pergi sama Ayah.”
Menghakimi sikap Si Kecil usai bertemu orang tuanya menimbulkan rasa bingung. Padahal bisa jadi sesuatu yang dia tangiskan bukan karena pertemuan orang tuanya, sebaiknya kita nggak cepat menilai emosi yang dia rasakan.
Parents, sikap tadi akan membuat Si Kecil kerap merasa bersalah. Kenyataannya, dia bukan seseorang yang perlu disalahkan atas apa yang terjadi pada hubungan kita dan pasangan. Maka sebaiknya kita tanyakan saja tentang kegiatannya, mendengarkan ceritanya, dan menanyakan kabar keluarga pasangan dengan baik.
Bila kita belum bisa menjadi pasangan yang baik, setidaknya kita bisa berusaha untuk menjadi yang terbaik bagi Si Kecil 🙂