Siapa sih yang mengharapkan perpisahan dari sebuah ikatan? Tentu, normalnya – tidak ada yang ingin, ya. Tetapi, jika memang sebuah perjalanan pernikahan bertemu jurang perpisahan dan tidak ada opsi lain yang bisa menyelamatkan – apa boleh buat dan memang harus dilakukan.
Namun, perpisahan kerap membawa beberapa hal lainnya. Seperti perihal pengurusan anak sampai pembagian harta. Pembagian harta adalah perihal yang krusial, karena jika tidak dibenahi dengan hati-hati, beberapa masalah lain kerap terjadi.
Halo Parents, apa kabar hari ini? Semoga selalu dilancarkan dan selalu dalam kesehatan, ya.
Dari judul dan prolog di atas, cukup jelas bahasan kali ini akan mengupas tentang perjanjian pranikah dan perihal yang berkaitan dengan hubungan pernikahan.
Parents, jika mengingat perjalanan pendekatan atau PDKT semasa pacaran, tentu hal-hal indah akan teringat. Tetapi, pada kenyataannya – sebuah hubungan pasti tidak hanya dihiasi oleh hal-hal indah, cantik, atau bahkan hal-hal yang menyenangkan saja, pasti ada keterbalikannya.
Keterbalikannya, sudah cukup jelas – hal-hal pahit, hal-hal yang tidak menyenangkan, adalah variabel umum yang relatif bisa diselesaikan. Tetapi, jika tidak bisa diselesaikan, maka terkadang perpisahan adalah konsekuensi yang harus dilakukan.
Perpisahan juga pada kenyataannya, kerap tidak seperti apa yang dipikirkan. Sudah pisah, ya pisah saja. Tidak juga, tentu ada beberapa hal yang mesti diatur ulang kembali. Tentu, ada regulasi yang mengatur hal-hal seperti ini.
Mengenal Perjanjian Pranikah
Parents, dilansir dari Kompas, perjanjian pranikah atau perjanjian perkawinan atau kadang disebut juga dalam istilah prenuptial agreement – di mana secara definisi, ini adalah tentang perjanjian antara pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung.
Nah, pada umumnya ya – perjanjian pranikah mengatur ketentuan bagaimana pemisahan harta kekayaan suami dan istri selama perkawinan. Hal ini diketahui karena harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, baik harta suami dan istri yang didapatkan selama periode pernikahan, pada dasarnya merupakan milik bersama, atau disebut juga harta gana-gini.
Selain mengatur tentang bagaimana pemisahan harta kekayaan ketika pasangan suami istri akhirnya memutuskan untuk terjun ke jurang perpisahan, perjanjian pranikah juga bisa mengatur aturan-aturan lainnya.
Seperti mencegah pasangan berselingkuh selama pernikahan, bahkan – perjanjian pranikah bisa memuat konsekuensi atau sanksi jika pasangan melakukan perselingkuhan. Nah, Parents – pertanyaan selanjutnya adalah apakah perjanjian pranikah bisa mengatur perselingkuhan tanpa mengatur pisah harta?
Menurut Pakar…
Masih dari Kompas, Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni, pakar hukum perdata dari Universitas Sebelas Maret Surakarta mengatakan larangan perselingkuhan bisa dimasukan ke dalam perjanjian pranikah.
Anjar menjelaskan bahwa isi perjanjian pranikah sebenarnya bisa memuat apapun asalkan tidak melanggar ketentuan dalam undang-undang (UU). Seperti tidak melanggar ketertiban umum, kesusilaan, ataupun hukum agama.
Jurnal Dinamika Hukum (2008), menyatakan bahwa perjanjian pranikah dapat juga mengatur hal-hal yang dianggap penting oleh pasangan suami istri. Seperti, ada aturan-aturan yang menjelaskan soal kekerasan dalam rumah tangga, atau tidak melarang untuk kembali bekerja sesudah menikah atau punya anak, dan lainnya.
Parents, terkait dengan perjanjian pranikah yang bisa mengatur soal pemisahan harta, dasar yang perlu diketahui bersama adalah Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) di mana pasal ini mengatur harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama.
Tetapi, yang perlu menjadi catatan kita bersama adalah harta bawaan sebelum menikah, serta harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan, tetap dimiliki oleh masing-masing individu di setiap pasangan.
Parents, hal ini akan berlaku sepanjang kita tidak menuangkan perihal ini ke perjanjian pernikahan.
Masih dari Anjar, ia mengungkapkan bahwa perjanjian pranikah bisa dibuat sebelum, saat, atau setelah perkawinan.
Hal ini berdasar dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015, yang mengubah Pasal 29 UU Perkawinan menjadi:
“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhada pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Nah, dari penjelasan di atas, satu hal yang juga tidak kalah penting untuk kita ketahui bersama ya Parents bahwa perjanjian pranikah harus dicatat. Jika tidak tercatat atau tidak tertulis, maka perjanjian tersebut tidak berlaku. Bahkan, perlu diberitahukan ke petugas pencatat pernikahan untuk ditulis di akta nikah.