Tahun lalu, ada tren di media sosial yang banyak diikuti oleh masyarakat Indonesia. Tren tersebut adalah ‘laki-laki tidak bercerita, tapi…’. Banyak yang membuat tren ini sebagai lelucon belaka. Tetapi, tidak sedikit yang membuat tren ini jadi kendaraan mereka untuk bercerita.
Tren ini secara jelas merepresentasikan salah satu sisi maskulinitas laki-laki yang diamini banyak kalangan yaitu sudah jadi rahasia umum kalau laki-laki pandai menyimpan perasaan atau masalah dalam diam.
Diam. Laki-laki harus diam?
Laki-laki, tidak boleh bercerita?
Parents, bahasan kali ini akan sedikit lebih panjang dari biasanya. Maka dari itu, siapkan cemilan atau mendengarkan musik yang ringan agar tetap fokus, karena kita akan menyelami bagaimana laki-laki memutuskan untuk tidak bercerita.
Toxic Masculinity atau Hegemonic Masculinity
Istilah pertama mungkin sudah sering kita dengar, ya. Tetapi, untuk yang kedua sepertinya tidak. Jarang istilah ini digunakan pada bahasa sehari-hari.
Tapi, istilah kedua ini cukup fundamental bagi laki-laki, karena bisa diartikan (koreksi jika salah) sebagai salah satu framework atau kerangka berpikirnya laki-laki. Dilansir dari Kompas, menurut Dosen Kajian Gender di Universitas Sebelas Maret, dra. Sri Kusumo Habsari, M.Hum, Ph.D bahwasanya tren laki-laki tidak bercerita bukan lah toxic masculinity melainkan hegemonic masculinity.
Fenomena atau tren ini menunjukan bagaimana sebuah norma dominan yang membuat laki-laki harus menjaga citra kuat. Jika tidak mengikuti norma tersebut, mereka khawatir dianggap “kurang maskulin”.
Habsari menambahkan bahwa diam atau menyimpan perasaan, menangis dalam diam, sampai berdoa adalah bentuk maskulinitas Asia yang lebih halus. Semua hal ini diamini banyak kalangan sampai akhirnya mengeras menjadi budaya.
Indonesia dan masyarakatnya cukup terkenal dengan budaya patriarki, di mana laki-laki diharapkan atau diharuskan untuk tampil sebagai figur yang kuat, tidak mudah menyerah, dan tidak lemah. Termasuk sampai ke soal perasaan.
Stigma Maskulinitas
Bicara budaya, banyak laki-laki di Indonesia yang tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan menjadi pria harus tangguh, dan tidak boleh terlihat lemah. Beberapa stigma yang tertanam sejak kecil:
- “Cowok nggak boleh nangis”
- “Harus bisa selesaikan masalah sendiri”
- “Tidak boleh mengeluh, nanti dibilang lemah”
Stigma ini tentu berkaitan dengan pendidikan serta pola asuh, Parents. Banyak terjadi bahwa anak laki-laki umumnya tidak diajarkan untuk mengekspresikan mereka secara terbuka. Tidak seperti perempuan, yang lebih responsif dan tidak masalah jika mereka menangis dan bercerita.
Cukup berbanding terbalik dengan laki-laki, karena mereka diajarkan untuk menekan emosi dan ‘melupakan’ masalahnya.
Menguat Karena Lingkungan
Laki-laki tidak bercerita menjadi stigma juga dikarenakan oleh lingkungan. Lingkungan, pergaulan, membuat laki-laki tidak mau terlihat lemah, apalagi di hadapan sesama laki-laki. Mereka dituntut untuk mampu mengendalikan situasi.
Maka, tidak heran jika di dalam pergaulan banyak laki-laki yang lebih nyaman bicara soal hobi, pekerjaan, atau hal-hal lain di luar dari perasaan mereka sendiri.
Percaya atau tidak Parents, bahwasanya laki-laki kerap takut jika mereka berbagi masalah, mereka akan kehilangan rasa hormat dari teman-teman atau pasangan mereka. Apakah ini yang disebut dengan gengsi?
Laki-laki Takut Diremehkan
Lingkungan memang berpengaruh. Sangat. Banyak laki-laki yang pernah mencoba bercerita, tetapi malah mendapatkan reaksi seperti:
- “Dih, gitu doang dipikirin, santai aja kali”
- “Kamu kan cowok, kuatlah”
- “Lebay deh”
Apakah respon atau reaksi seperti ini memang pantas untuk laki-laki yang bercerita? Atau jangan-jangan ini naluri laki-laki saja?
Akan tetapi, ini bukan naluri laki-laki, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh stigma dan pola asuh. Maka dari itu, penting sekali ya Parents mengajarkan ke anak laki-laki bahwasanya berbagi perasaan itu normal dan sehat.
Tidak menjustifikasi mereka lemah saat bercerita soal masalahnya. Ini penting ya, Parents.
Si Paling Kesehatan Mental…
Dalam konteks kesehatan mental, baik laki-laki ataupun perempuan, harusnya mempunyai concern yang sama soal ini. Parents, menurut Survei Nasional Kesehatan Mental Remaja Indonesia yang dipublikasikan pada tahun 2024 lalu, menemukan sekitar 34,9% remaja Indonesia setidaknya memiliki satu masalah kesehatan mental.
Hal menarik yang perlu ditelisik lebih dalam adalah mereka sadar mereka punya masalah kesehatan mental, tetapi enggan untuk mendapatkan bantuan dari professional.
Terutama laki-laki. Alasannya adalah deretan hal serta poin yang sudah dijelaskan di atas sebelumnya. Norma maskulinitas tradisional yang sudah mengakar kuat menjadi salah satu barrier mereka untuk mendapatkan bantuan.
Bom Waktu…
Siapa sih yang mau menyimpan bom waktu yang bisa meledak kapan saja?
Sayangnya memendam cerita, masalah, sampai perasaan yang sudah campur aduk adalah bumbu-bumbu terbaik untuk menciptakan bom waktu yang sangat berkualitas.
Masih dari Kompas, Dokter Ahli Kesehatan Jiwa, dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ menjelaskan bahwa laki-laki bisa membawa beban mental lebih besar jika terus ditahan. Walau ini cara kebanyakan dari mereka, tetapi ini akan berdampak pada kesehatan mentalnya.
Salah satu dampak yang bisa dirasakan adalah sulitnya berkomunikasi saat menjalin hubungan sosial dengan lawan jenis.
Sehingga…
Parents, menormalisasi bahwa laki-laki tidak kehilangan maskulinitasnya dengan bercerita adalah penting.
Lebih dari penting, ini salah satu fundamental bekal hidup.
Tetapi, mungkin akan berat karena terlihat seperti melawan arus, seperti melawan stigma besar yang sudah mengakar kuat.
Masalah kesehatan mental, baik untuk laki-laki atau perempuan, perlu banyak pihak untuk ikut andil meluruskan atau menyelesaikannya.
Mungkin ini bisa jadi topik bahasan baru, tetapi banyak masalah di Indonesia yang sifatnya interdisipliner, di mana butuh banyak sektor atau pihak untuk ikut bermusyawarah menentukan solusi terbaik.
Setuju atau tidak, tetapi laki-laki tidak bercerita adalah masalah.