Tarik napas… buang perlahan.. Jadi gimana rasanya menikah? 😀 Banyak ya, yang bilang 5 tahun pernikahan itu lagi berat-beratnya dan susah-susahnya. Bumin gak menyamaratakan kalau semua pernikahan itu gak bahagia, tapi pasti ada aja tantangannya, terutama di tahun awal pernikahan karena banyak hal yang perlu kita sesuaikan dengan pasangan.
Mengutip independent.co.uk, terdapat penelitian baru bahwa pasangan merasa ketidaknyamanan dalam 5 tahun pernikahan. Para ilmuwan menemukan bahwa pasangan dapat saling ‘muak’ hanya dalam 4 tahun dan berada pada risiko perceraian.
Hmm… belum genap 5 tahun aja udah bisa merasa gak kuat untuk menjalani pernikahan, ya. Bumin juga merasakan hal yang sama, di awal pernikahan gak bisa kita bilang mudah. Ibaratnya gak seindah waktu pesta pernikahan maupun honeymoon.
Bumin pengin tahu lebih dalam mengenai tantangan 5 tahun pernikahan, apa sih alasannya kok bisa dikenal sulit dan berat? Untuk menjawab rasa penasaran kita buat yang udah nikah, belum nikah, ataupun udah berencana nikah, yukk kita ngobrol sama Certified Couple Relationship Therapist, Ibu Rani Anggraeni Dewi.
Bu Rani, apa benar 5 tahun pernikahan itu berat dijalani?
Memang berat karena masing-masing membawa ekspektasi. Salah satu ekspektasinya dipenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis yang dia gak dapat di masa kecil, di masa pengasuhan oleh orang tua, secara gak sadar ada ekspektasi itu. Mereka gak menyadari.
Jadi ketika mereka menikah, ternyata ada tantangan-tantangan yang perlu mereka lalui juga. Di satu sisi mereka ada ekspektasi kebutuhan psikologis di masa pengasuhan itu terpenuhi dalam pernikahan, tetapi di dalam waktu bersamaan mereka menghadapi tantangan eksternal di 5 tahun pertama.
Apa aja tantangan eksternal itu?
Gaya hidup, beliefs system, tradisi dan budaya yang berbeda. Mungkin ada juga kebutuhan ekonomi yang gak stabil. Kebutuhan pengembangan diri, misalnya ingin naik jabatan, ingin sekolah S2 atau S3. Ada tantangan-tantangan yang sifatnya eksternal.
Lalu adanya intervensi orang tua. Itu banyak terjadi, kebetulan beberapa hari ini saya banyak menerima klien dengan keluhan seperti itu.
Tantangan eksternal ini banyak sekali yang harus pasangan hadapi, termasuk intervensinya orang tua dari pihak istri ataupun pihak suami. Apalagi kalau mereka gak ada jeda, langsung punya anak. Jadi semuanya itu berjalan secara simultan dalam waktu 5 tahun. Cukup complicated, kompleks, menjadi gak kondusif.
Biasanya intervensi orang tua dalam pernikahan itu seperti apa?
Harus selalu tinggal bersama orang tua, berkaitan pengasuhan anak, mengatur dalam rumah tangga. Banyak sekali anak-anak… jumlahnya cukup signifikan yang setelah menikah mereka gak berdaya menghadapi intervensi orang tuanya. Ini pengalaman saya dalam membantu pasangan-pasangan.
Apa alasan anak gak berdaya menghadapi intervensi orang tua?
Kembali lagi bagaimana hubungan anak itu dengan orang tuanya. Kalau misalnya hubungannya itu formalitas ayah dan anak, ayah itu otoriter, anak itu hanya nurut dan patuh, ini akan terbawa juga dalam pernikahan. Dia anak yang patuh, nurut, jadi gak berani ‘melawan’ orang tuanya.
Lalu anak merasa khawatir mengecewakan orang tua, dia ingin membahagiakan orang tuanya karena dia sudah menikah. Ada juga yang merasa khawatir kalau sudah menikah gak bisa lagi membahagiakan orang tuanya, sehingga dia memilih mengikuti atau patuh terhadap orang tuanya.
Lantas apa yang perlu kita siapkan untuk menghadapi 5 tahun pertama pernikahan dengan segala faktor masalah internal dan eksternal tadi?
Tentunya pasangan harus menyadari ini jauh sebelum menikah, menyadari dulu bahwa mereka akan menghadapi faktor eksternal yang menantang buat mereka. Sebelum menikah kan gak begitu dekat dengan calon mertua, kenal-kenal biasa, kalau lagi pacaran kan baik-baik aja semuanya.
Pas udah nikah si Mertua menganggap menantunya anak dia juga, jadi kepingin ngatur. Orang tua menganggap dirinya berpengalaman, lebih baik, padahal gak demikian. Setiap generasi punya tantangan yang berbeda, setiap anak punya kebutuhan yang berbeda, punya tujuan yang berbeda.
Untuk menghadapi itu semua, pasangan harus sepakat. Bagaimana menghadapi faktor eksternal itu supaya mereka bisa fokus pada kebutuhan psikologis yang menjadi ekspektasi mereka.
Caranya pasangan harus satu bahasa dulu, membangun support system berdua. Baru mereka bisa menghadapi faktor eksternal, menghadapi orang tua dan mertua kalau dua orang ini sudah punya kesepakatan. Punya solusi bagaimana menghadapi faktor eksternal.
Seperti apa misalnya?
Pasangan punya jangkar, punya pondasi dan nilai-nilai universal yang mereka berdua pegang. Sehingga apapun yang terjadi pada pernikahan mereka, nilai ini menjadi jangkar untuk pengambilan keputusan dan mendapatkan solusi.
Dalam buku saya ‘Untuk Apa Menikah?’ ada 10 nilai dalam pernikahan; Cinta kasih, penghargaan, toleransi, rendah hati, kedamaian, kebebasan, tanggung jawab, kesetaraan, kerjasama, dan kejujuran.
Dari 10 nilai ini mana yang menjadi prioritas pasangan? Mereka harus memilih dan bersepakat sehingga apapun yang terjadi, keputusan dan solusinya harus mempertimbangkan nilai-nilai tadi, menjadi jangkar untuk memecahkan solusi.
Misalnya sepakat dalam kebebasan berkarier, karena udah sepakat walaupun orang tua dan mertua gak setuju kalian tetap just go ahead apapun yang terjadi. Kalian berdua saling mendukung dan membela, jawabannya disepakati bersama kalau orang tua nanya. Ibaratnya harus kompak.
Jadi itu bisa menjadi kunci untuk menghadapi faktor eksternal itu ya, Bu?
Gak gampang juga karena seberapa jauh anak ini berani menghadapi orang tuanya. Tetapi kalau sudah disadari sebelum menikah, paling tidak mereka sudah mengumpulkan amunisi. Jadi mereka udah mulai punya strategi yang disepakati bersama. Kalau udah menikah ‘kan sudah terikat, udah susah ngaturnya.
Kalau prioritasnya berbeda bagaimana? Misalnya istri mau mengejar karier, suami pengin cepat punya anak.
Di dalam pre-marriage counseling itu dibicarakan, diberikan bimbingan pra-nikah. Mereka membicarakan prinsip-prinsip, misalnya istri pengin tetap bekerja, si Suami ingin menjadi imam bagi keluarga. Ini dibicarakan sebelumnya, termasuk mau punya anak apa gak, kapan mau punya anak.
Prinsip itu sudah dibicarakan, ada beberapa prinsip yang perlu dibicarakan sebelum menikah, yaitu mengenai…
Tempat tinggal, mau tinggal dimana setelah menikah?
Mau punya anak apa gak? Kapan dan berapa anaknya?
Boleh gak istri tetap bekerja sesudah menikah?
Suami perlu mengatur waktu pekerjaannya gak, apakah selalu di kantor?
Bagaimana dengan pengurusan rumah tangga, urusan rumah apakah hanya istri?
Bagaimana mengelola keuangan, siapa yang mencari uang, ada sandwich generation sepakat gak membiayai orang tua?
Jadi ada banyak yang dibicarakan sebelum menikah.
Wahh, penjelasan Bu Rani sangat-sangat insightful buat kita-kita yang udah terjun di dunia pernikahan ataupun baru akan terjun, nih. Dari penjelasan Bu Rani kebayang ya, kalau udah nikah itu gak cuma “aku sayang kamu, mari kita bersama.” Haduhhh, itu aja gak cukup ada banyak banget faktor dan tantangan yang mesti dihadapi berdua.
Sebelum menikah jangan lupa untuk melakukan konseling pra-pernikahan ya, supaya punya amunisi dalam menghadapi tantangan di tahun-tahun pertama pernikahan. Buat yang udah menikah juga bisa banget melakukan konseling pernikahan. Setiap masalah pasti ada solusinya, kok 😀